.quickedit{ display:none; }

Saturday, October 24, 2009

"Fatwa Kafir" Sebagai Alat Penguji Kebenaran

Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa kafir kepada Jemaat Ahmadiyah, sehingga dengan adanya fatwa tersebut kelompok yang menamakan diri mereka sebagai penjaga dan dan pelindung agama dengan dalih menjaga akidah membunuh dan menumpahkan darah manusia dengan dalil agama. Banyak kelompok yang pro dan kontra terhadap tindakan dan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ini karena effect yang timbul dengan adanya fatwa ini mengakaibatkan “manusai menjadi hakim bagi manusia yang lain” sehingga hukum nagara, konstitusi dan norma-norma adat tidak berlaku lagi bagi mereka.
.
Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa kafir kepada Jemaat Ahmadiyah, sehingga dengan adanya fatwa tersebut kelompok yang menamakan diri mereka sebagai penjaga dan dan pelindung agama dengan dalih menjaga akidah membunuh dan menumpahkan darah manusia dengan dalil agama. Banyak kelompok yang pro dan kontra terhadap tindakan dan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ini karena effect yang timbul dengan adanya fatwa ini mengakaibatkan “manusai menjadi hakim bagi manusia yang lain” sehingga hukum nagara, konstitusi dan norma-norma adat tidak berlaku lagi bagi mereka.
Sebenarnya seberapa besarkah “fatwa Kafir” sebagai barometer untuk menguji kebenaran pendakwaan seorang utusan Allah taala. Semenjak jemaat Ahmadiyah menyatakan bahwa orang yang bernama Isa Ibnu Maryam dimasa sekarang ialah Hadrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadian a.s. Takkala beliau mendakwakan sebagai Al-Masih yang dijanjikan (Al-Masih Al-Mau’ud) maka sebagian ulama menentang beliau dan bermacam-macam fatwa buruk mereka tujukan kepada beliau dan kepada Jemaat beliau, sebagaimana yang juga dialami oleh para Rasul Allah sebelumnya (Qs.36:31-33), berikut adalah beberapa kenyataan tersebut.
1. Para Rasul dan Nabi Allah Ta’ala itu pasti dimusuhi oleh syaitan-syaitan, sebagaimana firman Allah :
“Dan begitu juga kamijadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan dari manusia dan jin” (Qs. Al-an’aam (6):113)
Jadi, semua Nabi dan Rasul Allah itu didustakan, difitnah, dimusuhi dan bahkan ada juga yang dibunuh.
2. Para wali Allah seperti Hadhrat Ibnu Arabi r.a telah menulis dalam kitapnya (Al-Futuhah Al Makkiyah, juz III, hlm.374
“ Apabila Imam Mahdi keluar, maka tida bagian musuh yang nyata melainkan para fiqih dan ulama” (Hujajul kiramah, hlm.363)
3. Dalam umat islam ada banyak mazhab dan golongan, sebagian Ulama tiap golongan itu mengkafirkan dan menyesatkan golongan-golongan yang lainnya. Hadhrat Imam Ar-Razi r.a telah berkata ;
“Ketahuilah, bahwa orang-orany Yahudi dan Kristen sudah berlaku juga dalam umat Muhammad s.a.w. karena sesunguhnya tiap-tiap golongan atau mazhab itu mengkafirkan golongan-golongan yang lainnya (Tafsir Kabir, Juz I, hlm.448)
Diantara golongan Syi’ah ada suatu kelompok yang namanya Al-Kamilliyah. Kelompok ini telah mengeluarkan fatwa bahwa semua umat Islam setelah Rasulullah s.a.w, menjadi kafir, karena mereka tidak mengakui Ali sebagai Khalifah yang pertama bahkan kelompok ini telah mengkafirkan Ali r.a juga karena beliau tidak berani menuntut haknya. Dan oleh karena pengakuan ini, kelompok Al-kamiliyah juga telah dikafirkan (lihat Kitab Asy-Syifa Juz II hlm. 247). Jika kafir-mengkafirkan demikian itu terjadi terus menerus, lalu siapakah orang Islam yang masih tertinggal dimuka bumi ini ?
Masih banyak lagi wali-wali Allah yang telah disiksa dan di cap sebagai kafir oleh segolongan yang lainnya dan belum lagi kafir mengkafirkan antar golongan dan mazhab yang sampai hari ini masih terus menjadi polemik dan berita yang menyedihkan yang mencoreng wajah islam yang elok .
Jadi, kalau ada sebagian ulama menentang pendiri jemaat Ahmadiyah Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s tidak perlu heran lagi dan pihak Ahmadiyah insya Allah Ta’ala, tidak akan panik dan takut menghadapi mereka, karena mungkin karena para penentang tersebut belum dapat memahami seperti yang telah dipahami pihak Ahmadiyah.
Beberapa Keterangan Al-Quran Syarif Tentang Kebenaran Pendakwaan Para Rasul Allah

I. Keterangan Pertama : Takala Nabi Muhammad saw diutus, hampir semua orang Arab, terlebih penduduk Mekkah telah mendustakan beliau, Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. Yunus (10):13 yang menyatakan bahwa kehidupan Muhammad saw sebelum mendakwakan diri menjadi Nabi dan Rasul diakui sangat bersih dan suci, sehingga beliau diberi gelar Al-Amin artinya orang yang sangat dipercaya. Orang-orang kafir sebelum mendengar pengakuan beliau benar-benar mengakui :
”Kami belum pernah mendapati engkau berdusta “(Al-Bukhari, III, hlm. 106)
Bukan hanya Nabi Muhammad saw saja yang, bahkan semua Nabi adalah Ma’shum , termasuk sebelum mendakwakan diri sebagai seorang Nabi. Jadi kebenaran, kesucian, yang mulia itu menjadi keterangan yang nyata atas kebenaran pengakuan (pendakwaan) mereka itu juga.
Seorang yang hidup sampai 40 tahun lamanya diantara manusia, dan dalam 40 tahaun tersebut dia belum pernah berdusta, belum pernah menipu orang, belum pernah meganiaya dan belum pernah melakukan kejahatan apa pun mustahil orang semacam itu tiba-tiba berani mengada-adakan kedustaan kepada Allah Ta’ala.
Itulah yang dikemukakan oleh Allah ta’ala dalam ayat tersebut sebagai keterangan mengenai kebenaran Nabi Muhammad saw. Berikut ini adalah beberapa keterangan mengenai kehidupan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebelum medakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Al-masih, sebagai seorang Nabi Ummati yang tidak membawa syari’at baru, bahkan menjunjung tinggi dan memperjuangkan syari’at Islam laksana bayangan dari Nabi Muhammad Saw, di zaman akhir ini.

Syekh Muhammad Husain Al-Batalawi yang kemudian sangat memusuhi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s, sebelumnya telah berkomentar dalam majalahnya mengenai keluarbiasaan buku Barahin-I Ahmadiyya, karya Mirza Ghulam Ahmad a.s , yang ditulis sebelum mendakwakan diri sebagai ImamMahdi dan Masih Mau’ud :
“menurut pandangan dan pengalaman tiap-tiap kawan dan lawan, pengarang kitap Al-Barahin Ahmadiyyah tetap tegas diatas syariat Muhammad, orang yang bertakwa dan sangat benar keaadaannya (majalah Isya’atus-sunnah, Jilid VII, hlm.9)
Lagi dia menulis :
“ Pengarang Kitab Al-Barahin Al-Ahmadiyah itu tetap menolong islam dengan hartanya, jiwanya, penanya dan lidahnya. Pendek kata dengan segala-galanya, sehingga diantara orang orang Islam yang dahulu pun jaranglah orang yang semacam itu”
Jadi, kesucian hidup beliau sebelum pengakuannya sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi itu adalah satu keterangan yang nyata bagi kebenaran pendakwaannya. Adapun setelah pendakwaannya itu timbullah bermacam-macam tuduhan yang ditujukan kepada Mirza Ghulam Ahmad a.s, sama dengan tuduhan –tuduhan yang sudah pernah ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Padahal orang-orang arab dahulunya mengakui bahwa beliau saw itu seorang yang benar tetapi setelah mendengar pendakwaan beliau sebagai Nabi, mereka berkata :
“Dan orang-orang kafir berkata “Muhammad ini seorang tukang sihir lagi pendusta besar ” (QS. Shad (38):5)
Seorang yang bernama Maulana Sirajuddin (bukan seorang Ahmadi) berkata tentang masa muda Mirza Ghulam Akhmad a.s :
“Pada tahun 1860-1861 tuan Mirza Ghulam Ahmad adalah bekerja dibandar Sialkot, usianya ketika itu kira-kira 23 tahun, kami sudah menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri bahwa pada masa mudanya beliau itu adalah orang yang sangat soleh yang bertakwa dan dihormati” (Surat Kabar Zamindar, 8 juni 1908)
II. Keterangan Kedua : Allah Ta’ala berfirman :
“Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan [sebagian ilham atau wahyu yang palsu ] atas nama Kami, niscaya Kami menangkap dia dengan kekuatan kuasa Kami dan Kami putuskan tali jantungnya” (QS. Al-Haqqah (69):45-47).
Ayat ini menyatakan bahwa “Muhammad-atau siapa saja jikalau menyiarkan wahyu palsu yang diada-adakan atas mana Allah Ta’ala pasti ia akan segera di hukum oleh Allah Ta’ala sendiri, dia akan dimatikan dan pekerjaannya akan dibinasakan. Oleh karena Nabi Muhammad saw menyirkan wahyu dengan nama Allah Ta’ala dan selamat sampai 23 tahun lamanya dan pekerjaannya pun maju dan terus berkembang, maka sudah dapat dipastikan bahwa wahyu itu memang dari Allah Ta’ala dan beliau seorang yang benar dalam pengakuan sebagai utusan-Nya.
Menurut keterangan ini juga, kita dapat mengetahui kebenaran Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Beliau ini mulai mendapatkan ilham dan wahyu dari Allah Ta’ala sejak tahun 1868 M dan pada tahun 1883 M beliau telah menyiarkan wahyu-wahyu itu kepada manusia pada umumnya melalui buku Barahin Ahmadiyah. Kemudian beliau hidup sampai pada 1908 M. jadi sesudah menyiarkan wahyu-wahyu ilham tersebut beliau hidup bukan saja 23 tahun seperti Nabi Muhammad saw, bahkan sampai 25 tahun lamanya. Dalam masa yang panjang beliau selamat dan pekerjaan beliau pun maju dan terus bekambang hinga saat ini.
Masih banyak lagi keterangan yang berhubungan dengan kebenaran pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang sesuai dengan keterangan Al-quran karim dan berseuaian dengan hadis dan pendapat para ulama-ulama. Mengenai fatwa kafir yang sudah di alamtkan kepada beliau Hadrhat Mirza Ghulam Ahmad mengatakan :
“Mereka seharusnya melihat, seseorang yang menyatakan kedatangannya adalah atas perintah Allah, apakah dia juga membawa serta pertolongan-pertolongan dan dukungan-dukungan dari Allah atau tidak? Namun, mereka telah menyaksikan tanda dan mukjizat demi mukjizat dan mereka menyebutnya dusta. Mereka telah menyaksikan pertolongan demi pertolongan dan dukungan demi dukungan, tetapi mereka menyebutnya sihir.”
“Apalah yang dapat aku harapkan dari orang-orang yang tidak menghormati Kalam Allah Taala. Sikap santun terhadap Kalam Allah menunut agar langsung meletakkan senjata, sebaiknya mendengar nama-Nya. Namun mereka justru semakin menjadi-jadi dalam perbuatan bejad mereka. Sekarang, mereka sendiri akan melihat, siapa yang akan berhasil?”
“Aku melihat bahwa sebenarnya orang-orang inilah yng merupakan penggerak atau pencetus yang mengakibatkan pengutusanku. Dan, mereka ini merupakan faktor besar diantara faktor-faktor pengusutanku”. (Malfuzat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, hal. 436-437, terjemahan MI, 22/02/2001)
Selengkapnya...

Thursday, April 23, 2009

Peace Conference 2009

Selengkapnya...

Monday, April 20, 2009

GERAKAN AHMADIYAH DALAM KRISIS

GERAKAN AHMADIYAH DALAM KRISIS
Oleh: M. Dawam Rahardjo

Jemaat Ahmadiya, demikian mereka memanggil dirinya, di Pakistan, negara kelahirannya sendiri, sejak 1889, secara konstitusional pada tahun 1984, dianggap sebagai kelompok
non-Muslim dan golongan minoritas, namun diberi hak hidup, bahkan mempunyai perwakilan di parlemen. Sedang di dunia Islam, organisasi-organisasi Dunia Islam, semacam Rabithah
Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia itu, juga menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang “sesat dan menyesatkan” dan karena itu tidak diizinkan mendirikan organisasi formal yang menyelenggarakan kegiatan pengembangannya. Di kebanyakan negara-negara Islam,

Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajaran-ajarannya, tidak boleh menamakan masjid sebagai tempat beribadah dan juga tidak diperbolehkan menyerukan adzan sebagai cara memanggil orang bersembahyang. Di Indonesia, baru-baru ini, menjelang Hari Raya Idhul Fitri, Jema’at Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam, dilarang mengikuti sholat Id, dan hanya boleh
melakukan ibadah itu di dalam rumah mereka masing-masing. Ketika anggota Jemaat Ahmadiyah akan melaksanakan sholat Id di Parung, maka polisi mencegah mereka, karena khawatir akan terjadi tindak kekerasan.
Padahal Ahmadiyah sendiri tidak menganggap dirinya sebagai kelompok non-Muslim Mereka hanya mengaku sebagai sebuah sekte atau mazhab dalam Islam. Bahkan mereka juga
menganggap diri mereka sebagai salah satu bentuk dan manifestasi gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19.
Namun, karena mereka ditolak identifikasinya sebagai bagian umat Islam, maka mereka melakukan kegiatannya sendiri. Bagaikan kaum Muslim di zaman Nabi dalam periode awal,
karena ditolak di negeri kelahirannya sendiri, sehingga terpaksa hijrah ke Negeri Kristen Abesenia dan kemudian Yathrib yang sudah merupakan suatu masyarakat plural, gerakan Ahmadiyah juga terpaksa hijrah ke negara-negara non-Muslim atau negara-negara sekuler. Sejak tahun 1985, Mirza Thahir Ahmad, Khalifah gerakan Ahmadiyah, memindahkan
pusat kegiatannya ke London. Tapi justru di negara-negara sekuler itulah Ahmadiyah berkembang pesat, bukan saja karena gelombang migrasi orang-orang India-Pakistan, tetapi
juga karena bertambahnya penganut Islam di kalangan orangorang Eropa Barat sendiri. Pemerintah Inggris, dengan alasan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama
kebebasan beragama, orang-orang Ahmadiyah diberi kemudahan untuk berpindah ke Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya, sehingga banyak orang yang sebenarnya
bermotivasi untuk bermigrasi ke Eropa Barat yang lebih makmur, masuk Ahmadiyah agar mendapatkan kemudahan meninggalkan tanah airnya yang masih dililit kemiskinan dan
penindasan politik. Faktor ini juga memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan gerakan yang mula pertama didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India-Pakistan itu.

Gerakan Ahmadiyah, sebagai organisasi sudah dikenal di Indonesia sejak 1924 dengan berdirinya sempalan gerakan ini, yaitu Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Mohammad Ali.
Ini disusul dengan masuknya Ahmadiyah yang lebih “asli” yaitu Ahmadiyah Qadian, lewat Tapak Tuan Aceh. Namun, di Indonesia, yang lebih dikenal adalah Ahmadiyah Lahore,
karena penerbitan-penerbitan mereka tentang Islam dalam bahasa Inggris. Dari penerbitan-penerbitan itulah, terutama karangan Mohammad Ali dan Kwaja Kamaluddin, tokoh pergerakan Islam HOS Tjokroaminoto, banyak belajar Islam, karena ia tidak bisa berbahasa Arab sehingga tidak bisa membaca literatur Islam berbahasa Arab. Belajar Islam dari Ahmadiyah ini diikuti pula oleh Bung Karno muda, seorang nasionalis Muslim yang mulai tertarik pada ajaran Islam. Bung Karno sendiri suka membaca literatur Ahmadiyah yang dinilainya mampu menjelaskan ajaran Islam secara rasional, sementara itu ia melihat Islam tradisional sebagai ajaran yang
penuh dengan kekolotan, sehingga ia menyebutnya “Islam Sontoloyo.” Karena simpatinya yang terbuka kepada gerakan inilah maka Bung Karno pernah dituduh sebagai telah masuk
Ahmadiyah bahkan menjadi agen penyiaran, sehingga ia terpaksa menulis sebuah artikel yang berjudul “Saya Tidak Percaya Ghulam Muhammad Sebagai Nabi.” Jadi Bung Karno tertarik dengan dakwah Ahmadiyah, tetapi tidak bisa menerima salah satu unsur aqidahnya, yaitu tentang kepercayaan kepada nabi. Pada waktu itu persepsi umum dikalangan umat Islam adalah bahwa orang Ahmadiyahmempercayai adanya nabi baru sesudah Muhammad saw. yang
dipercaya sebagai nabi dan rasul, pungkasan (khataman Nabi) dengan seruan “la nabiya ba’dah,” tak ada nabi sesudah itu.Menganggap Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah sebuah
penyelewengan aqidah yang hukumnya “sesat dan menyesatkan.” Namun, dalam gerakan sempalan Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidak diakui sebagai nabi, melainkan hanya seorang
mujaddid. Sebenarnya pengakuan inipun ditolak oleh kebanyakan umat Islam. Mereka menganggap Jamaluddin Alafghani dan Muhammad Abduh sebagai mujaddid. Karena
itu maka Ahmadiyah Lahore tidak dipandang sesat dan karena itu dakwahnya masih bisa diikuti. Apalagi, buku-buku Mohammad Ali memang berisikan pemikiran-pemikiran yang
cemerlang dan mengagumkan. Ia telah menerjemahkan al Qur’an ke dalam bahasa Inggris, dalam bahasa sastra Inggris yang tinggi mutunya, dengan judul “The Holy Qur’an” (1909).
Ia juga telah menyusun sebuah buku pengantar Islam (introduction to Islam) dalam bahasa Inggris dalam suatu narasi yang anggun dan dapat diterima oleh golongan berpendidikan.
Ia juga mengarang sebuah buku mengenai sejarah Muhammad yang disadur oleh HOS Tjokroaminoto.
Dakwah gerakan Ahmadiyah ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi Islam secara modern dalam gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam wacana Ahmadiyah bukan merupakan Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di situ Islam dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok
dengan masyarakat modern.
Ahmadiyah Qadian juga ikut berkembang, tetapi lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib, Padang Panjang. Jika Ahmadiyah
bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka Qadian lebih banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat oleh mubaligmubalig
muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga berbeda. Jika Ahmadiyah Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional, maka Ahmadiyah Qadian lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka pembentukan masyarakat ethis (ethical community). Selain itu Ahmadiyah Qadian lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada umumnya, walaupun lebih bercorak teologi daripada fiqih.

Di Indonesia, Ahmadiyah dikenal dengan Tafsir al Qur’an yang dikarang oleh Khalifah Kedua, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Tafsir inilah yang dijadikan bahan siaran tafsir al Qur’an RRI
yang disampaikan oleh Ustadz Zulkifli Mahmud yang terkenal. Buku tafsir ini juga luar biasa menarik, karena mampu menggali arkeologi agama-agama sebelum Islam, dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran Bashiruddin Mahmud Ahmad ini, pada tahun 1950-an dipopulerkan di Indonesia oleh seorang sastrawan Muslim terkemuka, Bahrum Rangkuti. Pengaruh ini nampak dalam buku sastrawan Angkatan ’45 itu “Kandungan Alfatihah,” sebuah wacana teologi bercorak sastra. Sebagaimana diketahui Bahrum Rangkuti juga dikenal sebagai seorang yang memperkenalkan puisi dan filsafat Mohammad Iqbal di Indonesia, dengan
bukunya yang terkenal “Rahasia Pribadi” (Asraril Khudi). Sekalipun berkembang dalam wacana publik, tidak ada kelompok umat Islam yang menentang wacana itu, bahkan disambut hangat di dunia kebudayaan. Bahrum Rangkuti sendiri pada zaman awal Orde Baru, pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Agama di bawah Menteri A. Mukti Ali. Pada menteri intelektual itu tahu persis apa itu Ahmadiyah dan siapa Bahrum Rangkuti yang pengikut
Ahmadiyah Qadian itu. Tidak adanya reaksi dari kalangan umat Islam itu menunjukkan bahwa gerakan Ahmadiyah tidak mengembangkan ajaran yang “aneh-aneh” yang dianggap penyimpang dari ajaran Islam, sehingga umat Islam seolah olah lupa, bahwa Ahmadiyah memiliki unsur aqidah kenabian yang dianggap menyimpang. Di Yogyakarta, pernah
berkembang pengajian Ahmadiyah dengan nama “Sunday Morning Class” (di lingkungan Gereja Kristen dikenal sebagai Bible School) yang disampaikan dalam bahasa Inggris oleh ustadz Mohammad Irsyad. Pengajian itu ramai dikunjungi orang, terutama dari kalangan mahasiswa. Djohan Efendi, yang masih mahasiswa dan aktivis HMI Cabang Yogya adalah seorang asisten dalam pengajian itu. Para mahasiswa Ahmadiyah di Yogya umumnya adalah aktivis HMI, misalnya Sofyan Lamardy. Kalangan HMI juga mengetahui adanya unsur Ahmadiyah, tetapi mereka tidak melakukan reaksi yang negatif. Salah seorang tokoh cendekiawan Ahmadiyah adalah dokter Ahmad Muhammad Djojosugito, putera Djojosugito, penerjemah al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Tokoh Ahmadiyah yang juga menonjol di kalangan kebudayaan adalah Soedewo, yang uraian-uraiannya mengenai Islam sangat menarik karena tidak konvensional. Dengan nama samaran, dokter Ahmad Muhammad pernah membuat karangan bersambung di majalah “Media” yang diterbitkan oleh PB HMI mengenai Yesus. Dalam karangan itu, ia embongkar mitosmitos mengenai Yesus atau Nabi Isa as yang dipercaya oleh orang Kristen maupun Islam, misalnya Yesus lahir dari seorang ibu yang perawan suci dan Yesus bisa berbicara ketika masih bayi, walaupun tulisan itu dibantah oleh seorang rekannya yang juga seorang dokter, Zainuri Kosim yang membantahnya dengan wacana ortodoksi Islam tentang nabi Isa as. Walaupun polemik itu sangat serius, tapi dokter Zainuri Kosim tidak pernah menyerang lawan polemiknya sebagai penganut Ahmadiyah yang sesat. Lebih luas lagi, seorang ulama Sunni, Hasbullah Bakrie membongkar pula mitos mengenai Yesus, misalnya bahwa Yesus itu mati di tiang salib. Wacana seperti ini memang bersumber dari Ahmadiyah yang membuat
wacana arkeologis bahwa Nabi Isa itu sebenarnya tidak wafat di tiang salib dan dalam waktu 40 hari sembuh kembali, tetapi melepaskan misi kenabiannya dan mengembara sebagai orang
suci dan akhirnya wafat dan dikuburkan di Kashmir. Pengikut ajaran Nabi Isa itu konon masih ada di Kashmir hingga sekarang. Tapi wacana ini tidak menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam yang membawa kepada tuduhan terhadap Ahmadiyah sebagai golongan sesat dan menyesatkan.
Masalah Nabi Isa as ini pernah menimbulkan suatu debat terbuka yang dihadiri oleh sekitar 500 orang. Ahmadiyah diwakili oleh Rachmat Ali, sedangkan dari kalangan umat Islam Sunni diwakili oleh tokoh besar Ustadz A. Hassan Bandung, yang sangat kondang kepiawaiannya dalam debat
dan polemik debat yang terjadi pada tahun 1933 itu berlangsung dengan santun dan bermutu. Debat itu membuat peraturan dalam berdebat yang antara lain melarang peserta mengeluarkan reaksi-reaksi emosional, bahkan isyarat yang bersifat mendukung atau menolak pembicara, sehingga tidak terjadi teriakan-teriakan semacam “Allahu Akbar” dan semacamnya yang memancing emosi itu. Debat ini pun berakhir secara damai, tanpa mengakibatkan dampak
kekerasan terhadap Ahmadiyah. Bahkan konon, moderator debat itu justru tertarik kepada Ahmadiyah dan bergabung ke dalam organisasi ini.
Padahal di Pakistan sendiri, pengikut Ahmadiyah mengalami penganiayaan dan tindakan kekerasan yang sulit dipercaya, yaitu tindakan yang lebih kasar dari yang pernah dialami oleh
para sahabat Nabi oleh kaum musyrik Quraish pada awal dakwah Islam di Mekah. Namun tindakan-tindakan dari kalangan umat Islam yang sudah keluar dari kemanusiaan itu,
tidak menyebabkan pengikut Ahmadiyah bergeming. Bahkan sekte ini terus berklembang sehingga membawa perhatian dari Pemerintah Pakistan sendiri. Tapi sikap Negara Islam itu
adalah memihak kepada golongan mayoritas sehingga menjatuhkan hukuman kepada Jema’at Ahmadiyah dengan menetapkan jemaat ini sebagai golongan minoritas non Muslim. Namun di lain pihak, gerakan Ahmadiyah memperoleh status hukum resmi sebagai organisasi legal dan
boleh melakukan kegiatannya.

Di Indonesia, dalam jangka waktu lama, gerakan Ahmadiyah tidak mengalami gangguan. Bahkan seorang tokoh Ahmadiyah Qadian seperti Brigjen Bahrum Rangkuti memperoleh posisi
yang tinggi di lingkungan militer, yaitu sebagai Imam Tentara dan kemudian diangkat sebagai pejabat tinggi di Departemen Agama RI, tanpa protes. Baru pada tahun 1980, dalam Musyawarah Nasional ke II di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), memfatwakan Jema’at
Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam dan merupakan kelompok yang sesat dan menyesatkan. Fatwa ini menurut MUI didasarkan pada kajian terhadap 9 buku mengenai
Ahmadiyah, tanpa menyebutkan buku apa saja dan juga tanpa klarifikasi dengan Jema’at Ahmadiyah sendiri. Fatwa tersebut dapat dinilai sebagai pengadilan in absensia dan tanpa
pemberian hak terhadap tertuduh untuk menjawab dan memberikan klarifikasi. Pada tahun 1981, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mengirim surat kepada Menteri Agama RI agar melarang Ahmadiyah di Indonesia. Tapi Depag tidak cepat bereaksi. Baru pada tahun 1984, terbit Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Depag RI yang berisikan penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan menodai agama. Surat Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Padahal Ahmadiyah sendiri tidak pernah berbuat onar atau mengacau, tidak pernah pula mengkritik aliran lain, sebagaimana Muhammadiyah pernah mengkritik pahampaham yang dianut oleh NU dan sebaliknya Ahmadiyah mampu membentuk komunitas-komunitas yang damai tapi penuh gairah dalam beragama. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa hak yang dimiliki oleh MUI untuk tidak mengakui Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam?
Meminjam kalimat Dr. Komaruddin Hidayat, apakah ada otoritas agama yang mendapat “lisensi” dari Tuhan? Di situ MUI telah bertindak sebagai otoritas keagamaan seperti yang pernah dipegang oleh kekuasaan Vatikan pada Abad Pertengahan yang memancing gerakan reformasi Protestan di Eropa Barat yang diikuti dengan gelombang migrasi orang-orang Eropa ke benua Amerika yang sekuler dan liberal itu. Dengan demikian maka tekanan yang menimpa Jema’at Ahmadiyah bersumber dari tiga otoritas, yaitu MUI dan Departemen Agama yang mendapat tekanan dari unsur asing, yaitu Pemerintah Saudi Arabia yang juga merasa memiliki
otoritas atas ortodoksi Islam. Surat dari Kedubes Saudi Arabia itu sebenarnya dapat inilai sebagai sebuah intervensi asing terhadap masalah dalam negeri Indonesia. Gejala ini menunjukkan terjadinya politisasi terhadap kehidupan beragama di Indonesia yang menimbulkan masalah kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia itu. Dari sinilah mulai tersebar persepsi di kalangan umat Islam mengenai kesesatan Jema’at Ahmadiyah. Ini diikuti oleh upaya-upaya untuk “membongkar” bukti-bukti “kesesatan”
Ahmadiyah tersebut, antara lain dengan menggali biografi pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan mengkritisi buku kumpulan wahyu yang disebut Tadzkirah. Dari sini lahir tuduhan bahwa Ahmadiyah mempunyai kitab suci tersendiri di luar al Qur’an. Tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Surat Edaran Depag RI mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah gerakan sesat karena menganggap dirinya sebagai nabi dan dengan demikian menanggap Nabi Muhammad saw. bukan nabi terakhir sebagaimana dipercayai oleh seluruh umat Islam.

Salah satu fatwa pengkafiran di tingkat internasional pernah pula lahir dari otoritas ulama al Azhar. Tapi konon, fatwa itu sebenarnya adalah pesanan dari Raja Fuad ketika itu. Latar
belakangnya adalah kritik seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, Zafrullah Khan, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negari Pakistan pada awal berdirinya negara itu. Kemudian
tokoh ini diangkat menjadi Ketua Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Ketika itu tokoh ini mengkritik Raja Fuad dari Mesir, sebagai seorang raja yang suka berfoyafoya. Padahal ia dicalonkan menjadi Khalifah, jika kekhalifahan Islam berhasil didirikan. Tapi ide pembangunan kembali Khilafah Islam itu ditolak antara lain oleh Mohammad Rashid
Ridha, seorang pembaharu Islam di Mesir, murid Mohammad Abduh. Karena sakit hatinya, ia meminta kepada ulama al Azhar untuk mengeluarkan fatwa pengkafiran Ahmadiyah, organisasi yang diikuti oleh Zafrullah Khan. Di Indonesia, fatwa ini dikritik dan Zafrullah Khan dibela oleh Mohammad Natsir, rekannya dari Indonesia, yang mengetahui betapa besar peran Zafrullah Khan dalam membela perjuangan rakyat Palestina melawan Israil. Dalam pembelaannya itu Natsir sudah tentu tahu persis tidak saja siapa Zafrullah Khan itu, tapi juga apa itu aliran Ahmadiyah. Hingga kini belum diteliti apa latar belakang fatwa MUI tahun 1980 dan Surat Edaran Depag tahun 1984. Padahal pada tahun 1978 keluar Keputusan Menteri Agama mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara lain menyatakan agar umat beragama menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan inter agama yang sama (antara pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa Pancasila. Berhadapan dengan Keputusan
Menteri Agama ini, maka Surat Edaran tahun 1984, pada dasarnya bertentangan dengan surat keputusan itu, karena sejak itu telah terjadi permusuhan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas di kalangan umat Islam sendiri.

Sungguhpun demikian, sesudah itu tak terjadi peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah. Hingga pada tahun 2001 Bupati Lombok Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Setahun kemudian Lembaga Penelitian dan Pangkajian Islam (LPPI) yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan seminar di Masjid Al Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena penodaan aqidah. Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI yang antara lain dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati Kuningan, karena di Kuningan telah tumbuh komunitas Ahmadiyah di Manis Lor. Profil komunitas Manis Lor yang damai dan sejahtera itu pernah ditulis di jurnal Ulumul Qur’an yang dilaporkan oleh Djohan Efendi, salah seorang staf peneliti Depag. Kemudian, pada awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai kesesatan Ahmadiyah. Ikut menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah itu adalah majalah Sabili yang besar oplagnya. Namun Ahmadiyah bukan satu-satunya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok-kelompok
keagamaan lain yang dinilai sesat antara lain adalah Inkarus Sunnah, Pembaharuan Isa Bugis, Gerakan Darul Arqam, juga Mahad Al Zaitun, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII),
agama Baha’i dan Syi’ah, belum lagi berbagai aliran kebatinan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan sesat itu dilatar-belakangi oleh gerakan pemurnian Islam yang antara lain ingin meluruskan aqidah. Penekanan kepada konfirmasi aqidah inilah yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Kristen, di AS ketika mereka berhadapan dengan kritik ilmu pengetahuan terhadap Bibel. Sementara itu yang dianggap sebagai penyelewengan dalam paham Ahmadiyah adalah unsur aqidah yaitu mengenai wahyu dan kenabian. Tuduhan penyimpangan aqidah ini tentu saja dibantah, baik oleh perorangan maupun organisasi resmi Ahmadiyah. Pada tahun 2003 ini, Jema’at Ahmadiyah Indonesia telah menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “Klarifikasi atas Telaah Buku Tadzkirah” yang berisikan beberapa artikel, yang pertama adalah klarifikasi terhadap Laporan Telaah Tadzkirah yang dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Depertemen Agama Republik Indonesia. Artikel itu juga memberikan penjelasan mengenai soal wahyu, justifikasi tentang kenabian Ahmad (Mirza Ghulam Ahmad),
masalah pengertian kafir, membantah tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penganut paham Wahdatul Wujud, mengenai kabar-kabar gaib tentang Muhammadi Begum, tentang penghidmatan terhadap pemerintahan kerajaan Inggris yang kesemuanya merupakan sumber kesalah-pahaman dan fitnah. Dalam penerbitan itu dilampirkan pula surat dari Depertemen Agama yang berisikan undangan untuk mendiskusikan soal Tadzkirah. Ini menunjukkan bahwa
Departemen Agama RI memang ingin ikut mengatur soal-soal aqidah yang dianut oleh kelompok-kelompok keagamaan.
Dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jema’at Ahmadiyah juga telah menyusun suatu makalah yang berjudul “Menjawab Berbagai
Tuduhan Teologis.”
Buntut dari tulisan-tulisan itu adalah aksi kekerasan yang mulai muncul pada awal abad 21, misalnya penyerbuan terhadap komunitas Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, dan menjalar ke Lombok Utara yang memakan korban manusia yang terbunuh dalam aksi kekerasan itu. Kemudian, terjadilah puncak aksi kekerasan itu dengan penyerbuan Kampus Mubarak yang merupakan Kantor Pusat Jema’at Ahmadiyah, di Parung Bogor pada pertengahan Juli 2005. Tak lama kemudian, pada akhir Juli, Musyawarah Nasional MUI mengeluarkan fatwa lagi yang sifatnya mengukuhkan fatwa tahun 1980 yaitu menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok
non-Muslim yang sesat dan menyesatkan. Ini berlanjut dengan penyerbuan yang serupa pada komunitas Ahmadiyah diKuningan dan Cianjur, termasuk pembakaran masjid-masjid Ahmadiyah. Di sini, fatwa MUI seolah-olah membenarkan aksi kekerasan itu, walaupun MUI secara formal menyatakan tidak menghendaki aksi kekerasan itu, namun mendesak Pemerintah
untuk melarang gerakan Ahmadiyah. MUI tidak mau tahu bahwa fatwa MUI itu dijadikan sumber referensi tindak kekerasan, walaupun MUI daerah selalu terlibat dalam rencana
tindak kekerasan.
Namun kali ini fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan itu menimbulkan reaksi di kalangan LSM. Lebih-lebih karena disamping memfatwakan sesat terhadap Ahmadiyah, MUI juga mengharamkan paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme. Reaksi itu menilai bahwa sikap dan tindakan terhadap Ahmadiyah itu merupakan bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu penekanan terhadap kebebasan beragama.

Tapi timbul bantahan bahwa fatwa MUI hanya berurusan dengan masalah “rumah tangga” umat Islam dan tidak menyangkut agama-agama lain. Tapi keterangan itu dijawab dengan kenyataan bahwa tak lama kemudian timbul aksi-aksi penutupan rumah-rumah ibadah umat Kristen di Jawa Barat, DKI dan Banten. Tapi fakta itu pun dibantah dengan penjelasan
bahwa kelompok umat Islam itu tidak menutup gereja-gereja sebagai rumah ibadah umat Kristen, melainkan menutup rumah-rumah ibadah “liar” tanpa izin yang mempergunakan
rumah biasa sebagai tempat ibadah. Latar belakang dari tindakan kekerasan itu sebenarnya adalah penilaian bahwa rumah-rumah ibadah yang didirikan ditengah-tengah pemukiman kaum Muslim itu adalah suatu kegiatan “Kristenisasi” yang memurtadkan orang Islam. Gejala
ini dijelaskan dengan berdirinya sebuah organisasi yang bernama “Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan” (AGAP). Tindakan-tindakan yang sebenarnya berada di luar wewenang
yang hanya dimiliki oleh pemerintah itu ternyata selalu merujuk kepada SKB 2 Menteri 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah itu. Karena protes, maka Depag mengambil
langkah untuk melakukan revisi terhadap SKB 2 Menteri 1969 itu, tapi langkah ini pun menimbulkan tentangan keras. Fatwa MUI dan tindakan kekerasan terhadap Jema’at
Ahmadiyah ternyata mengandung hikmah yang besar. Kini telah timbul aliansi antara berbagai kelompok antaragama dan aliran kepercayaan yang berdiri di satu front untuk memperjuangkan kebebasan beragama. Situasi ini sulit kita bayangkan terjadi di masa lalu. Kelompok itu bersatu melawan tesis “Clash of Civilization” yang dikembangkan oleh Samuel Huntington. Kini, mereka telah merencanakan untuk melakukan serangkaian dialog antarperadaban dalam rangka
untuk menegakkan masyarakat Pancasila di bumi Indonesia. Dalam situasi krisis itu, gerakan Ahmadiyah nampak berusaha untuk melakukan oto-kritik dan penyesuaian dalam rangka
melakukan integrasi dengan masyarakat plural. Pengalaman telah menunjukkan bahwa Sekularisme adalah paham yang sangat dibutuhkan, karena berdasarkan pengalaman itu, justru
dalam alam sekularlah gerakan Ahmadiyah bisa berkembang ke seluruh dunia. Dan kini, dalam masyarakat Indonesia, pluralisme menawarkan pemecahan masalah yang dihadapi
oleh Ahmadiyah. Sebenarnya, saya berharap juga bahwa pemikiran Islam liberal bisa berkembang di lingkungan Ahmadiyah, mengingat tradisi rasionalisme yang telah tertanam dalam teologi Ahmadiyah. Namun saya memiliki keraguan, karena dalam ancaman
tuduhan “sesat dan menyesatkan” atau “menodai aqidah,” Ahmadiyah tentu akan mengalami hambatan dalam mengembangkan pemikiran yang liberal. Jadi, karena trauma masa lalu, Ahmadiyah akan berusaha untuk mendekati ortodoksi untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah itu adalah merupakan bagian dari Islam.

Selengkapnya...

Friday, April 17, 2009

Aku Lahir Dari Keluarga Ahmadiyah

Bengkulu, sebuah kota kecil di tengah pulau Sumatra, disana akau lahir dan di besarkan oleh keluarga Ahmadi. Keluarga ku menganut paham Ahmadiyah, menurut cerita orang tua ku bahwa Kakek dan Nenek ku lah yang telah membawa ajaran Ahmadiyah ini di Bengkulu yang beliau dapat dari perantauannya ke Padang, Sumatra Barat.

Pada awalnya aku menggangap bahwa paham yg di anut oleh keluarga ku adalah “ sama saja “ dengan mayoritas muslim yang lainnya. Kenapa aku bisa mengatakan sama saja..ya karena keluarga ku menjalankan semua rukun islam, mengucapkan shahadat asyhaduannlaailaaha illallah waasyhaduanna muhammadanrrasulullah, aku melaksanakan sholat wajib lima waktu secara dawam, menghadap ke kiblat, dimulai dengan takbiratur ikhram dan diakhiri dengan salam, disamping sholat wajib orang tua ku selalu menekankan dan menganjurkan anak-anaknya untuk terbiasa melaksanakan sholat sunat yg menyertai sholat fardu dan membangunkan kami di tengah malam untuk melaksanakan sholat tahajjud berjamaah. Jika tiba bulan puasa, aku melaksanakan puasa selama satu bulan penuh dan tiap bulan saya selalu menemanin orangtua ku untuk membayar zakat, infak dan sumbangan lainnya untuk jalan Allah dan tentu saja berangkat haji yg telah dilaksanakan oleh nenekku.
Inilah yang saya sebut “sama saja” dengan mayoritas islam yang lainnya di Indonesia ini khususnya, mungkin anggapan ini sama yg dirasakan oleh anak-anak keturunan ahmadiyah lainnya, ketika pertama mengenal keahmadiyahannya. Titik balik dari anggapan aku di atas dimulai ketika pertama kali aku menginjak bangku sekolah pertama (SMP), pada saat itu mata pelajarannya adalah pendidikan agama islam dan topik pelajarannya adalah mengenal 25 nabi dan rosul. Pada saat pembahasan megenai Nabi Isa as, guru aku menjelaskan bahwa nabi Isa as telah diangkat kelangit sehingga terhindar dari peristiwa penyaliban dan salah seorang/orang lain yang telah disamarkan seperti Nabi Isa.as yang disalibkan, hingga sekarang Isa ibnu Maryam dari Nazerat masih hidup di langit, suatu saat nanti akan turun kembali ke dunia ini. Pada saat itu aku menanyakan ke guru saya tersebut, kalau nabi Isa ibnu Maryam masih hidup dilangit bagimana dengan ayat alquran.. tiap-tiap makhluk yang berjiwa akan mati (21:35-36), dan ketika dilangit apakah masih berstatus sebagai nabi ? siapakah umatnya di sana ? lalu bagaimana ia makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimana beliau mendirikan shalat dan membayar zakat (19:32-33).
Jawaban dari Guru saya adalah ; “ Kamu orang Ahmadiyah ya..!!, bukannya jawaban yang saya dapat justru pertanyaan balik “Apakah aku seorang Ahmadi ?”
Sesampainya dirumah aku menceritakan peristiwa ini kepada kedua orang tua ku dan mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan diatas dan yang lebih mendesak yang saya ajukan ke orang tua ku adalah Apa sih Ahmadiyah, kalu kita menanyakan sesuatu di luar pertanyaan yg umum orang ajukan selalu orang mengatakan kamu orang Ahmadiyah ? dan inilah jawaban yang “ membedakan” aku dengan yang lainnya, yaitu :

Mengenai masalah adanya Nabi setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w.



inilah yang menjadi pokok permasalah yang selama ini selalu di kecam oleh para “ulama-ulama” islam pada umumnya karena mereka berpandapat ini masalah akidah, kalu akidah yang di usik maka "halal darahnya" . Disini aku mencoba sedikit menjelaskan bahwa pokok persoalannya adalah hanya pada pola dan pendekatan penafsiran Al-quran Mengenai Makna dari khaataman-nabiyyiin
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah mengimani seluruh makna ayat khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, Ijma’ dari orang-orang shaleh terdahulu, dan juga bersesuaian dengan ungkapan serta pemakaian bahasa Arab. Jemaat Ahmadiyah mengimani makna harfiah (letterlijk) ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya yang memiliki pengertian bahwa Hadhrat Rasulullah s.a.w. adalah yang paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan cincin [perhiasan] para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada diri beliau. Kunci setiap fadhilah (keunggulan) telah diserahkan ke tangan beliau. Syari’at beliau - yakni Al-Qur’an dan Sunnah - akan terus berlaku hingga Hari Akhir dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorang pun yang dapat me-mansukh-kan syari’at ini barang setitik pun juga. Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi/rasul pembawa syari’at terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau s.a.w. adalah penutup sekalian nabi. Tidak ada seorang nabi pun yang dapat terlepas dari lingkup ke-khaatam-an beliau dari sisi mana pun juga. Tidak ada lagi nabi sebelum beliau yang secara jasmani masih hidup di dalam era beliau. Tidak pula setelah beliau berlalu dari dunia ini, masih ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup abadi secara jasmani. na’udzubillaah. Dalam pengertian hakiki pun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia dari nabi yang terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau Sebab, beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia kenabian yang berasal dari ketaatan kepada Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. tetap akan berlangsung hingga Kiamat (4:70). Ringkasnya, Jemaat Ahmadiyah mengakui Rasulullah s.a.w
sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna harfiah ataupun makna hakiki, dan Jemaat Ahmadiyah secara terhormat berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar Hadits, para ulama dari segenap golongan penentang Ahmadiyah juga tidak mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna-makna yang telah dijelaskan di atas.
Firman Allah Ta’ala: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasulullah danKhaataman Nabiyyiin [Meterai sekalian nabi].” (33:41)
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-lakidi antara kamu?
Perlu diperhatikan adanya kata laakin (melainkan) yang disisipkan sebelum kata rasulullah dan
khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca alimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan keraguan
mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu? Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat 4 menyatakan: “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa
keturunan.”
Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz.Rasulullah s.a.w. (Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim)semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah s.a.w. sampai dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya.
Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah S.w.t. dalam Surah al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau s.a.w. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah s.a.w. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wakhaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan beliau, bahkan beliau s.a.w. merupakan stempel para nabi
Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi beliau s.a.w. bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi. Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah s.a.w., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau s.a.w., bahwa segala sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan datang terkumpul dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad s.a.w. Hanya beliau s.a.w. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamulanbiya’, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.
Sedikit catatan mengenai peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, Rasulullah
s.a.w. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya di sorga ada yangmenyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.”(H. R. Ibnu Majah).
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau s.a.w. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat
khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat jelas bahwa Nabi s.a.w. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau s.a.w. tidak mengungkapkan pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.

Inilah beberapa point yang bisa aku jawab mengenai ke Ahmadiyahan ku yang selama ini saya imani, dimanakah letak aku telah mengusik unsur-unsur akidah ? aku hanya mencoba memberikan penafsiran dari sisi yang lain.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap masalah dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin karena kekhawatiran terhadap orang-orang
yang dapat menjadi mangsa kekeliruan semacam itu, maka Hz. Siti Aisyah r.a. berkata:
“Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamulanbiya’,
tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya
ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya).” (Durrun Mantsur, jld. V,
hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 5
Terakhir akan saya kutip pernyataan Mirza Ghulam Ahmad a.s :

“Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul
kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita
mengimani bahwa nabi kita s.a.w. adalah Khaatamul Anbiya’,
dan Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. Jadi, janganlah
menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain
kecuali sebagai khadim Islam. Dan siapa saja yang
mempertautkan hal [yang bertentangan dengan] itu pada kami,
dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia
berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim s.a.w. Dan kami
memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Qur’an
Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di
dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk
ini. Jika tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di
hadapan Allah Ta’ala. Jika kami bukan khadim Islam, maka
segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak, serta akan
diperkarakan.” (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)
Selengkapnya...

Wednesday, April 15, 2009

Ahmadiyah : Selayang Pandang

Mungkin diantara para pembaca sudah pernah mendengar dan membaca berita-berita tentang Ahmadiyah dan saya yakin anda banyak sekali menerima berita atau tulisan yang berupa hujatan dan kecaman dan sedikit sekali anda menerima berita yang berupa penjelasan tentang apa Ahmadiyah itu sebenarnya.

Disini saya memcoba mengangkat sebuah tulisan yg sangat menarik yg ditulis oleh seorang
Profesor Louis J. Hammann pada Konferensi Tahunan American Academy of
Religions yang diselenggarakan di Canton Upper State New
York dan pada seminar di Universitas Pennsylvania,
Philadelphia.

Profesor Hammann adalah seorang cendekiawan terkemuka dalam ilmu perbandingan agama; saat ini ia adalah seorang pengajar ilmu agama di Gettysburg College. Ia mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Yale, Pennsylvania State dan
Temple. Ia adalah seorang anggota perkumpulan Kristen (yang anti peperangan dan persumpahan), kolega dari Friend’s Meeting di Gettysburg College. Ia juga bergabung dengan
United Church of Christ (Persekutuan Gereja Kristus).
Dalam mencari informasi mengenai Ahmadiyah, pada tahun 1983 ia datang ke markas pusat internasional Jemaat Islam Ahmadiyah di Qadian dan Rabwah. Ia telah mempelajari dengan saksama mengenai Ahmadiyah dan pendirinya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ia telah mempelajari dengan mendalam dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan rumit dengan cara yang sangat gamblang. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan telah memberikan ia kemampuan yang baik untuk menjelaskan apa yang dipelajarinya. Itu adalah pekerjaan yang paling gesankan yang pernah ditulis dengan sikap netral, jujur dan adil oleh seseorang yang meneliti Ahmadiyah.
Selanjutnya di bawah ini adalah kutipan lengkap dari brosur tersebut

Ahmadiyah: Selayang Pandang
Oleh:
Louis J. Hammann Ph.D.
Profesor Ilmu Perbandingan Agama
Gettysburg College
15 Mei 1985

Pendahuluan
Ahmadiyah adalah, sebagaimana kita katakan, suatu sekte messiah dalam Islam. Untuk menghindari apa yang saya sebut sebagai “cold bath syndrome” saya akan buat kata
pendahuluan dengan singkat. Pendahuluan seperti ini mungkin dapat menghindari keterkejutan dan kebingungan yang dapat mengantarkan kita kepada asingnya dunia Islam di abad
sembilan belas. Saya tidak memiliki gagasan berapa banyak di antara para pembaca yang pernah mendengar tentang Jemaat Islam Ahmadiyah. Kita akan lihat sedikit nanti mengenai seorang muslim yang shaleh, tinggal di Punjab, pada tahun 1889 mendakwakan diri bahwa ia adalah Mahdi dan al-Masih. Ini adalah titik perhatian utama, di mana kita kembali ke tahun
1876 ketika Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan wahyu saat ia berusia 41 tahun. Saat yang dramatis itu, seseorang dengan kepribadian yang shaleh telah meraih suatu taraf kesadaran diri
(self-realization). Sejak itu sampai waktu kewafatannya di tahun 1908, Hazrat Ahmad adalah seorang manusia yang dengan daya kenabian membawa pengikutnya kepada apa yang dapat
dirasakan sebagai kebangkitan kembali Islam.


Ahmadiyah adalah gerakan pertablighan yang telah memiliki 10 juta pengikut ( Jumlah Muslim Ahmadi berdasarkan data tahun 1985, sekarang berjumlah lebihdari 200 juta orang).

mulai dari Indonesia dan Malaysia sampai ke Pakistan dan Afrika Tengah dan Afrika Barat serta Amerika.
Saat ini, struktur organisasinya dipusatkan di Pakistan Tengah,di kota Rabwah. Pemimpin gerakan ini sekarang adalah yang ke lima Mansoor Ahmad, pada masa mirza Tahir Ahmad, salah satu cucu dari pendiri Ahmadiyah. Di awal tahun 1985, Huzur – panggilan sayang bagi Mirza Tahir Ahmad, pindah ke London sewaktu tekanan mulai mencapai puncaknya kepada Jemaat
Ahmadiyah di Pakistan. Landasan hukum bagi siasat pemerintah (untuk melakukan tekanan) yang pertama kalinya adalah dengan cara mengamandemen konstitusi yang diumumkan secara resmi tahun 1974, yaitu menyatakan orang-orang Ahmadi sebagai “non-Muslim”. Baru-baru ini di bulan April tahun 1984, pemerintah menetapkan suatu peraturan yang menyatakan
bahwa kaum Ahmadi, di bawah ancaman hukuman, dilarang, secara langsung atau tidak langsung, untuk menyebut diri mereka sebagai muslim atau menyebut mesjid sebagai tempat
ibadahnya atau menggunakan adzan sebagaimana kaum muslimin menggunakannya untuk tujuan panggilan sembahyang. Kaum Ahmadi tidak boleh menyebarkan: Dengan perkataan atau dengan menulis atau dengan mengatasnamakan agama mereka dengan maksud untuk mengajak
orang lain (bergabung dengan Ahmadiyah). Mereka juga dilarang menggunakan istilah atau sebutan seperti yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad atau ahlul bayt (keluarga)-nya untuk anggota masyarakat Ahmadi atau untuk orang lain.


John Esposito telah mempersiapkan sebuah buku berjudul Suara Kebangkitan Islam (Voices of Resurgent Islam). Buku ini dan buku-buku lainnya bermaksud memperlihatkan Islam
sebagai suatu agama dengan energi baru dan sebagai suatu agama yang tidak lagi layak, jika itu pernah terjadi, memberi gambaran klise dari kekerasan yang tidak masuk akal dari perampok padang pasir. Sebagai pengganti dari penyederhanaan seperti itu, kita harus mencoba untuk mengerti bahwa Islam paling tidak memiliki fenomena kerumitan yang sama dengan agama Kristen. Agama yang berakar dalam Al-Qur’an dibungkus oleh penyederhanaan-penyederhanaan seperti itu adalah jelas tidak tepat. Tetapi bagaimana kita
mengubah pola pikir kita sebagai pengamat, ilmuwan dan pengajar dalam konteks ini untuk mampu memahami keragaman pengalaman beragama yang mempersatukan komunitas manusia? Kita harus masuk ke dalam tradisi sejarah agama-agama, tapi kita juga harus membiasakan diri kita kepada kenyataan yang sekarang ada pada mereka.


Ahmadiyah adalah, jika ini motivasi kita, layak untuk dicermati. Melalui Ahmadiyah kita mungkin lebih dekat kepada Islam sebagai suatu fenomena sejarah dan sebagai kenyataan yang
ada masa kini. Ahmadiyah memiliki keuntungan karena terdokumentasi dengan baik. Para pengikutnya berkeinginan dan mampu untuk menampilkan pergerakan ini sebagai suatu
pengalaman pribadi dan sebagai suatu yang bersejarah. Mereka juga diyakinkan oleh perintah Al-Qur’an bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama.” Dalam Ahmadiyah kita dapat menghargai keshalehan orang-orang Islam dan merasakan kelangsungan hidup dari Islam sebagai suatu kekuatan besar dalam dunia modern ini.


Pergerakan Ahmadiyah dalam Islam
Sebagaimana kita ketahui, pertengahan abad 19 masehi adalah masa bergaungnya keilmuan dan bergejolaknya kehidupan beragama. Ilmu pengetahuan alam dan sosial dimasak pada alat pembakar terdepan. Pada alat pembakar belakang, ketel dari tradisi agama-agama besar mulai
mendidih. Di samping perumpamaan tersebut, adanya transisi di abad 19 kepada keajaiban perubahan-perubahan dan kengerian akan abad 20 ditandai dengan pembaharuan-pembaharuan gerakan dan lahirnya kaum beragama di seluruh dunia. Bergeloranya pandangan-pandangan akan masa depan (apocalyptic visions) dan pemulihan kisah-kisah sejarah Kristen di dunia Barat telah dikenal dengan baik. Apa yang mungkin tidak diketahui dengan baik adalah kenyataan bahwa dunia Islam juga melihat gerakan-gerakan itu yang mana Al-Qur’an dan nubuatan (Nubuatan adalah kabar-kabar mengenai masa depan (prophecy). nubuatan tertulis (scriptural prophecies) lainnya membawa kepada pemenuhan nubuatan itu. Keyakinan itu telah tersebar luas mendekati lintas sejarah karier kemanusiaan. Pendekatan ini, tentu saja telah diduga. Bagaimanapun juga seseorang mungkin membenarkan
keyakinan itu bahwa suatu lintasan peristiwa sedang dibuat, apakah dengan analisis sejarah atau penafsiran pandangan pandangan nubuatan, tidak terelakkan lagi. Kita tidak dapat dan tidak perlu memutuskan dilema ini, apakah itu adalah suatu proses sejarah, campur-tangan Tuhan atau suatu kesepakatan rahasia dari dua penilaian yang membawa dunia kepada suatu kemelut. Rupanya, keyakinan yang tersebar luas dalam lingkaran tradisi keagamaan itu, dengan adanya zaman baru dari transformasi keilmuan, sosial dan politik juga disertai dengan penurunan nilai-nilai moral dan spiritual.
Dewa Molokh (Molokh pada zaman dahulu adalah dewa sembahan Bani Amon yang kepadanya dipersembahkan anak-anak sebagai korban, juga di Yerusalem (Lihat bagianKamus dalam Alkitab keluaran Lembaga Alkitab Indonesia, hlm. 346) atau namadewa Kanaan yang menuntut korban dalam rupa manusia (Lihat EnsiklopediPerjanjian Baru karya Xavier Leon-Dufour, hlm. 402). di zaman baru industri dan ilmu pengetahuan ini meminta manusia untuk mengorbankan hubungan-hubungan ketuhanan yang ada demi kesejahteraan dan kebangsaannya. Sebagaimana pandangan-pandangan yang membawa seorang manusia dalam masyarakat sekuler, desakan keagamaan di banyak bidang mencoba untuk bertahan. Hubungan perniagaan dan hubungan antarmanusia telah merebut tempat persekutuan (komuni) yang dilakukan dengan Tuhan. Tidak hanya dunia yang berubah namun perubahan adalah mengubah trend (kecenderungan), lamanya menggerakkan peradaban dan budaya yang tidak lagi dapat menahan tekanan peristiwa melebihi kemampuan adanya pilihan-pilihan perlindungan dan pemeliharaan keagamaan, tidak lagi dapat efektif. Sebagaimana zaman baru telah terbit, akankah cahaya tetap bersinar dalam dunia yang tak bertuhan yang telah mengorbankan kebaktian dan kesalehan kepada Tuhan untuk proses yang rasional dan kemajuan materi? Ada banyak yang tidak dapat memiliki kemungkinan itu. Saya pikir, bagaimanapun juga, hal itu bukanlah suatu kecenderungan negatif yang menggerakkan Mirza Ghulam Ahmad kepada ramalannya. Adalah sama ragu-ragunya [bagi kita] bahwa Hazrat Ahmad hanya didorong oleh penilaian kritis dari peristiwa-peristiwa duniawi untuk menyatakan dirinya sebagai seorang Mahdi di zaman ini. Begitulah, ia bukan seorang pembicara terkenal tentang malapetaka karena adanya suatu tekanan perasaan (depresi), juga ia tidak mengkhayalkan arti wahyu seperti cara para wartawan (atau bahkan para sejarahwan) yang mencatat kecenderungankecenderungan yang ada sekarang di halaman-halaman opini pada surat kabar kita.


Dari pandangannya dan darinya ia mendirikan pergerakan ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
menjawabnya berdasarkan wahyu. Ia adalah seorang yang sangat shaleh. Nubuatan serta ucapannya [tidak hanya] terlihat sebagai ungkapan jiwa yang bersentuhan dengan trend dan
peristiwa-peristiwa masa kini, namun lebih kepada ungkapan jiwa dalam persekutuan (komuni) dengan Tuhan yang hidup. Dalam cita rasa ilmiah, kita kelihatannya mencari suatu keadaan yang mendasari perilaku seseorang. Dan selama lebih dari 100 tahun terakhir, para sarjana mencari-cari akar psikologis dari pengalaman beragama. Namun ada juga klaim yang dibuat dalam lingkaran gerakan keagamaan tertentu yang mungkin membawa kepada tidak adanya prasangka. Apa yang Hazrat Ahmad maksud mengenai dirinya dan apa yang dimaksud oleh para pengikutnya tentang dirinya adalah cukup jelas. Perkiraannya mengenai rendahnya tingkat keshalehan dan kepercayaan kaum muslimin sebagai suatu penilaian tidaklah sesederhana itu pada kondisi sekarang bagi seorang peneliti yang peka. Pendakwaannya sebagai seorang nabi di Akhir Zaman ini terlihat tidak hanya psikologi khusus saja. Ia lebih merasa atau mengetahui dalam lubuk-lubuk hatinya bahwa ia “mendapatkan kedekatan yang sempurna dengan Tuhan Yang Maha Perkasa.“ Tidak dapat disangkal adanya landasan wahyu dari pengetahuan atas dirinya sendiri ini. Keyakinan atas kebenaran wahyu selalu merupakan landasan kekuatan bagi Ahmadiyah dan pada kesempatan yang sama sikap permusuhan ditampilkan kepada gerakan ini oleh para mullah (kyai) Islam ortodoks.


Namun mungkin kita harus kembali pada permulaan gerakan Ahmadiyah dalam Islam agar mendapat beberapa sentuhan asli yang dinamis yang telah memberikan rangsangan khas selama 100 tahun terakhir ini bagi 10 juta orang yang berasal dari daerah Dar al Islam (Negara Islam).
Pendiri Ahmadiyah lahir di sebuah kota kecil di Punjab pada tahun 1835, di kota Qadian yang berjarak tidak lebih dari 30 atau 40 mil sebelah Timur kota Amritsar, di mana terletak kuil emas kaum Sikh yang pada pertengahan tahun 1984 menjadi pusat perhatian dunia. Di sana lahir Mirza Ghulam Ahmad, di sebuah daerah di mana tradisi-tradisi agama kuno dan baru hidup dalam kebersamaan yang rapuh. Saat kelahirannya, Andrew Jackson sedang menjadi Presiden Amerika Serikat. Joseph Smith dua tahun sebelum kelahirannya telah mendirikan Gereja Latter-day Saints. Louis Phillipe saat itu merupakan pemerintahan monarki dari Prancis. Dua tahun setelah kelahiran Ahmad, Victoria menjadi Ratu Inggris dalam usia 18 tahun. Chopin sedang mencapai kejayaan dalam kariernya. Dan hanya setahun sebelumnya, Friedrich Schleiermacher meninggal dunia.
Bagaimanapun, sampai umur 41 tahun (1876) Hazrat Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang akan membawanya kepada keyakinan/kepastian bahwa di dalam pribadinya telah genap datangnya Mahdi. “Setelahnya,” sebagaimana kata Zafrullah Khan, “telah diwahyukan kepadanya bahwa ia juga adalah al-Masih yang Dijanjikan dan benar-benar seorang nabi yang datang seperti yang telah dikabarkan dalam agama agama utama di dunia.” Ia adalah “Juara yang berasal dari Tuhan dengan jubah pakaian semua nabi-nabi.” Sejak pendakwaannya sebagai Al-Masih yang Dijanjikan sampai kewafatannya pada tanggal 26 Mei 1908, aktivitas kenabiannya tidaklah surut.

Ia memimpin Jemaat Ahmadiyah yang pengikutnya mencapai ribuan orang. Di tahun-tahun awal gerakan Ahmadiyah, ia sendiri senantiasa tampil memimpin dalam pertandingan (perdebatan) dengan para pemimpin agama dan para pendakwa juru selamat yang membangkitkan rasa kepercayaan dirinya dengan bijaksana. Para penentang dan lawan-lawannya mulai dari para pemimpin Arya Samaj (Hindu) sampai pendeta Kristen di India dan di Amerika Serikat.
Melalui semua konflik pribadi yang diembannya sebagai pemenuhan pendakwaan kenabiannya, ia terus membawa perintah-perintah wahyu yang bertujuan untuk kemajuan Islam dalam zaman baru yang sedang tampil di depan. Semua energi kemanusiaannya, sebagaimana dipercayai oleh
para pengikutnya, difokuskan kepada satu sebab bahwa kebangkitan Islam ini merupakan genapnya pemenuhan ruhani dari semua agama-agama dunia. Namun ia bukanlah pembawa
amanat yang netral. Peranannya adalah disengaja di bawah kesadaran akan rencana Tuhan. Tidak hanya memberitahukan terpenuhinya nubuatan [para nabi], namun lebih kepada
takdirnya untuk mewujudkan proses sejarah ketuhanan. Di antara banyak pernyataan Hazrat Ahmad yang membuktikan kepastian akan peranannya adalah: “… adalah jelas bagiku
berdasarkan wahyu Tuhan bahwa Al-Masih yang kedatangannya telah dijanjikan di antara orang Islam sejak awal, dan Mahdi yang kedatangannya telah ditetapkan Tuhan di saat merosotnya umat Islam dan tersebarnya kekeliruan, dan akan dibimbing secara langsung oleh Tuhan, dan mengajak orang turut ambil bagian dalam perjamuan sorgawi, dan kedatangannya telah dikabarkan oleh Nabi Suci s.a.w. seribu tiga ratus tahun yang lalu, adalah aku sendiri. Wahyu Tuhan mengenai hal ini telah diberikan kepadaku dengan sangat terang dan terus menerus sehingga tidak lagi tersisa ruang bagi keraguan. Wahyu itu penuh dengan genapnya nubuatannubuatan agung yang benderang seterang siangnya hari. Seringnya [wahyu] dan jumlahnya serta kekuatan yang menakjubkan memaksa aku untuk mengakui bahwa itu terdiri
dari perkataan-perkataan yang berasal dari Tuhan Yang Esa tanpa sekutu bagi-Nya, Sang Pemilik Kalam Al-Qur’an. Agar mendapatkan ridha Allah, aku dengan ini memberitahu kamu
semua pentingnya kenyataan bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa, diawal abad ke-14 ini, memilih aku yang berasal dari-Nya bagi kebangkitan dan pendukung kebenaran ajaran Islam.”

Penulis telah diberitahu bahwa ia adalah Pembaharu (Mujaddid) zaman ini dan ketinggian ruhaninya memiliki kesamaan dengan ketinggian ruhani Yesus, putra Maria, dan keduanya saling berhubungan satu dengan lainnya serta memiliki kemiripan satu dengan lainnya. Dan akhirnya: “Pertanyaan yang tersisa siapakah Imam Zaman ini haruslah, berdasarkan Perintah Ilahi, ditaati oleh seluruh kaum Islam, shaleh, penerima wahyu dan kasyaf. Tidak ada keraguan padaku untuk mengakui bahwa akulah Imam Zaman ini.” Bagaimanapun juga, ia sangat saksama dalam melukiskan misinya: “Tapi aku adalah seorang rasul dan seorang nabi tanpa syari’at baru dalam beberapa hal Tuhan mewahyukan padaku apa yang tersembunyi, dan karena kelemahlembutan yang telah dilimpahkan kepadaku karena ketaatanku kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan karena mendapatkan namanya.”
Ia berkali-kali tetap bertahan dengan pendapatnya bahwa Meterai Kenabian [khaatamul-anbiya’] tetap terpelihara. Ia adalah bagi Muhammad (Nabi pembawa syari’at yang memiliki
Kitab) sebagaimana Yesus bagi Musa (yang memiliki hukum kuno, Messias telah datang tidak untuk membatalkan, tetapi hanya menggenapkan). Ini adalah penting, kemudian untuk menghargai ketulusan Ahmadiyah adalah dengan mencatat apa yang Ahmad tidak dakwakan. Musuh-musuhnya, bagaimanapun juga biasanya tidak berkeinginan menjadi sangat diskriminatif. Menurut mereka, pendakwaannya membahayakan pandangan yang ada mengenai akhir dari kenabian Muhammad. Hal itu mungkin terlihat sangat baik, namun pendakwaan Ahmad hanya untuk menjadi penafsir pesan Al-Qur’an yang terilhami dan pembawa pesan lahirnya kembali serta pembaharuan atas satu agama yang hakiki: “Bagi umat manusia tidak ada kitab lain kecuali Al-Qur’an, dan bagi bani Adam, tidak ada Utusan [Rasul] dan perantara lain kecuali Muhammad, yang terpilih s.a.w.” Ahmad adalah seorang nabi, bukan nabi [pembawa syari’at], Al-Qur’an [tidak ada Qur’an lain], Kitab [tidak ada kitab suci lain], [juga] bukan sebuah buku di antara banyak [buku], Islam agama asli yang dipulihkan oleh sokongan Ahmad.

Masih banyaknya kaum muslimin yang merasa gusar dan terhina, alasannya tidak diragukan lagi karena adanya kekolotan yang wajar atas keimanan, dan nampaknya akibat dari hal tersebut adalah keinginan untuk menyalah-artikan nubuatan-nubuatan-nya yang penuh dengan retorika. Pada kaum Kristen juga ditemukan alasan-alasan [yang serupa] untuk diserang. Paradoks besar orang Kristen dirasakan ada di Punjab sama halnya [paradoks] itu ada pada berbagai peristiwa lain yang bahkan lebih dari kesuburan tanah: pengharapan datangnya Yesus kedua kalinya menambah suburnya penyebaran agama Kristen, sementara kenyataan adanya
kemungkinan kembalinya [Yesus] terancam dengan berkurangnya semangat yang membara akan keyakinan itu. Rupanya, sesuatu dirasakan lebih penting dengan menunggu datangnya seorang tamu daripada berbicara dengan tamu yang sekali datang ke ruang tamu Anda. Demikianlah dengan Hazrat Ahmad. Namun kita mungkin mengerti kritikannya, dengan adanya cara pendakwaan yang rumit. Tidak hanya dia akui bahwa ia memiliki “kesamaan yang khas
dengan Yesus“ namun pada sisi negatifnya, ia telah diutus “…bahwa aku akan melumpuhkan doktrin salib. Untuk itulah aku telah diutus,” ia melanjutkan, “untuk memecahkan salib dan membunuh babi.” “Syirik“-nya kaum Kristen membawa mereka kepada suatu penafsiran yang aneh mengenai penyaliban. Anggapan terhadap eksekusi [penyaliban] Yesus telah diartikan sebagai suatu pengorbanan dirinya-sendiri untuk penebusan –Sebenarnya Tuhan membayar dirinya sendiri bagi suatu penebusan agar ciptaannya memikat dengan [memiliki] kerajaan-kerajaan dan kekuatan-kekuatan atas dunia ini. Bagi kebanyakan orang Islam gagasan itu mungkin tidak dapat dipahami; bagi orang Ahmadi gagasan itu menjadi benar-benar suatu laknat. Sebagai pengganti dari khayalan keagamaan itu, Ahmad menawarkan suatu skenario yang kelihatannya lebih –kemungkinan lebih, karena di sana buktinya dirasakan dapat diuji untuk suatu alternatif.


Di negeri Kashmir, dengan ibu kota Srinagar, sebuah kuburan telah ditemukan, melindungi jenazah dari seorang nabi kuno yang dikenal sebagai Yus Asaf. Ketika anggapan atas legenda ini bertemu dengan nubuatan Alkitab dan dengan membaca Injil-Injil secara teliti, kisah tradisional pasca penyaliban berubah secara radikal. Untuk memenuhi nubuatan bahwa Messias harus mengajarkan “domba Israil yang hilang,” Yesus pulih dari luka parah akibat penyaliban, pergi berpindah tempat ke arah Timur kepada domba-domba Afghan yang tersesat dan kepada suku-suku di deretan sebelah Utara India-Pakistan di mana tinggal suku-suku pengembara (nomad) yang sampai dengan hari ini budaya, agama dan sifat khas ras-nya terbuat dari bangsa Semit asli merupakan sebab yang dapat diterima seluruhnya. Di sana “Yus Asaf” menikah, melanjutkan
pekerjaan kenabiannya, menjadi orang tua dan wafat dalam usia 120 tahun. Keturunannya sampai generasi ke-65 masih tinggal di daerah sekitar makamnya. Dengan demikian Hazrat Ahmad telah “melumpuhkan doktrin salib” dan selanjutnya lebih memperbaiki pekerjaan Islam tradisional mengenai Yesus putra Maria. Kenyataan-kenyataan dan argumentasi-argumentasi yang disusun oleh Ahmad dalam bukunya Al-Masih di India, menjadi dan merupakan kisah terhindarnya Yesus dari kematian di atas salib serta perjalanannya ke India. Kata-kata pembukaannya dalam buku itu layak dicatat sebagai petunjuk atas motivasi serta pernyataannya: “Aku menulis buku ini dengan maksud untuk menjauhkan pandangan-pandangan yang keliru dan berbahaya tentang kehidupan awal dan kehidupan akhir Nabi Isa a.s. – yang sudah ada di kebanyakan golongan Islam dan Kristen – dengan mengemukakan fakta fakta yang benar, kesaksian-kesaksian sejarah yang meyakinkan dan yang telah terbukti, serta naskah-naskah kuno umat non-Muslim lainnya. Yakni, pandangan-pandangan yang dampak-dampak mengerikannya itu tidak hanya menghambat serta menghancurkan konsep Tauhid Ilahi, melainkan pengaruhnya yang sangat buruk dan beracun sedang tampak menggerogoti keadaan akhlak umat Islam di negeri ini.”


Jadi, pesan dari Pendiri Ahmadiyah menjadikan suatu perubahan serius dari ajaran Gereja sama halnya dengan suatu perbaikan atas pengertian Yesus bagi kaum ortodoks Islam. Masih ada tantangan lain yang diajukan oleh Ahmad dan pengikutnya kepada pandangan ortodoks. Masih Mau’ud melarang jihad terhadap pemerintah Inggris. Beberapa menuduhnya memiliki motif untuk kepentingannya sendiri, eskipun perintah yang ada berlawanan dengan jihad dalam kasus tertentu memperlihatkan sikap pengecut secara umum dan kurangnya gairah terhadap Islam. Seperti biasanya suatu kasus, bagaimanapun juga, motif-motif yang sebenarnya berbeda dan didasarkan atas wahyu ketimbang perhitungann perhitungan politis. Hazrat Ahmad menjelaskan larangan terhadap jihad dengan cara sebagai berikut: “Singkatnya, di zaman Rasulullah s.a.w., landasan jihad Islam adalah, bahwa kemurkaan Tuhan telah bangkit kepada kaum yang zalim. Akan tetapi hidup di bawah pemerintahan yang baik/ramah, seperti pemerintahan ratu kita, adalah bukan jihad namanya untuk membuat rencana pemberontakan terhadapnya, melainkan
suatu gagasan biadab yang lahir dari suatu kebodohan.”
Ia selanjutnya menyatakan, dalam nuansa bahasa yang didorong oleh misinya: “Jihad zaman ini adalah berjuang untuk meninggikan kalimat Islam, untuk menyanggah keberatankeberatan pihak lawan, untuk mempropagandakan
keistimewaan-keistimewaan ajaran Islam, dan untuk menyatakan kebenaran Rasulullah s.a.w. di seluruh dunia. Ini adalah jihad sampai Tuhan Yang Maha Besar mendatangkan suasana lain di dunia ini. Semangat jihad dengan senjata kemudian dapat dialihkan menjadi “Jihad Akbar“ atau berjuang melawan hawa nafsu, menuju kepada disiplin ruhani yang akan memungkinkan masyarakat meraih ridha Tuhan, bangkitnya kembali Islam.”

Baiklah, mari kita teruskan. Namun tidak ada waktu yang cukup bagi kita dalam suatu karangan singkat, bahkan untuk suatu pengenalan saja. Kemungkinan motif dan kekuatan gerakan Ahmadiyah dalam Islam dapat dipahami dari satu pernyataan akhir Masih Mau’ud. Sehubungan dengan janji setia dari para pengikutnya, ia berkata:
“Hendaknya diketahui oleh semua orang yang berhati tulus yang telah mengambil janji Ba’iat bahwa tujuan dari perjanjian ini adalah dinginnya kecintaan kepada dunia dan dalam hati sanubari harus tumbuh kecintaan kepada Tuhan dan Rasulullah, dan jiwa dijauhkan dari dunia ini sehingga tidak timbul keraguan untuk perjalanan selanjutnya.”
Al-Qur’an menyatakan, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Siapa saja yang secara sukarela mengambil perjanjian dengan nabinya Nabi [s.a.w.], Islam tetap menjadi agama yang masa depannya dapat dicapai. Masih sanggahannya Hazrat Ahmad,

“Ini bukanlah suatu ungkapan baru.” Mahdi tidak menganggap untuk mengganti kedudukan mulia setiap nabi, misinya adalah
hanya mengembalikan keimanan sejati dan kemurnian serta pengertian hakiki tentang Tuhan yang mana telah, sedang dan akan menjadi agama yaitu Islam"
. Apa pun yang muncul di luar pergerakan ini, di dalam Jemaat Ahmadiyah para pengikutnya dapat menyatakan dengan kesadaran penuh mengenai diri mereka dan pendirinya.


Satu kalimat terakhir, untuk menghilangkan dugaan mengenai nama Gerakan ini adalah suatu penghormatan kepada egotism Masih Mau’ud. Kenapa gerakan ini asalnya dinamakan Gerakan Ahmadiyah dalam Islam? Perkataan Masih Mau’ud:

“Nama yang tepat untuk Gerakan ini dan yang mana kami lebih menyukai menyebut bagi diri kami adalah muslim sekte Ahmadiyah. Kami telah memilih nama ini karena Rasulullah s.a.w. memiliki dua nama. Muhammad dan Ahmad; Muhammad adalah nama sifat keagungan, dan Ahmad adalah nama sifat keindahannya…Tuhan telah mengatur kehidupan Rasulullah s.a.w., kehidupannya di Mekkah sebagai manifestasi dari nama Ahmad dan umat Islam telah diajarkan kesabaran dan ketabahan. Kehidupannya di Medinah sebagai manifestasi dari nama Muhammad, dan Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya menetapkan untuk menghukum musuh-musuhnya. Namun ada suatu nubuatan bahwa nama Ahmad akan dimanifestasikan kembali di Akhir Zaman dan orang itu akan muncul dengan menyandang kualitas keindahan sebagai karakter Ahmad dan semua peperangan akan berakhir. Untuk alasan inilah telah dipertimbangkan dengan baik bahwa nama untuk sekte ini sebaiknya Ahmadiyah, sehingga tiap orang yang mendengar nama ini menyadari bahwa sekte ini telah datang untuk menyebar kedamaian serta keamanan dan tidak akan berhubungan dengan perang dan perkelahian.”


Adalah benar-benar ironis bahwa suatu Gerakan yang menganjurkan perdamaian di antara kaum beragama dan, tentu saja, adalah arti dari nama agama Islam, harus dihilangkan kebebasannya dalam beribadah dan kepercayaannya serta misinya di negara asalnya dan di berbagai tempat lainnya dalam dunia Islam. Adalah juga sejarah yang mengenaskan bahwa ajaran perdamaian ini harus dipisahkan dari Islam itu sendiri.


Louis J. Hammann
Gettysburg College
Selengkapnya...