.quickedit{ display:none; }

Wednesday, April 15, 2009

Ahmadiyah : Selayang Pandang

Mungkin diantara para pembaca sudah pernah mendengar dan membaca berita-berita tentang Ahmadiyah dan saya yakin anda banyak sekali menerima berita atau tulisan yang berupa hujatan dan kecaman dan sedikit sekali anda menerima berita yang berupa penjelasan tentang apa Ahmadiyah itu sebenarnya.

Disini saya memcoba mengangkat sebuah tulisan yg sangat menarik yg ditulis oleh seorang
Profesor Louis J. Hammann pada Konferensi Tahunan American Academy of
Religions yang diselenggarakan di Canton Upper State New
York dan pada seminar di Universitas Pennsylvania,
Philadelphia.

Profesor Hammann adalah seorang cendekiawan terkemuka dalam ilmu perbandingan agama; saat ini ia adalah seorang pengajar ilmu agama di Gettysburg College. Ia mendapatkan gelar sarjana dari Universitas Yale, Pennsylvania State dan
Temple. Ia adalah seorang anggota perkumpulan Kristen (yang anti peperangan dan persumpahan), kolega dari Friend’s Meeting di Gettysburg College. Ia juga bergabung dengan
United Church of Christ (Persekutuan Gereja Kristus).
Dalam mencari informasi mengenai Ahmadiyah, pada tahun 1983 ia datang ke markas pusat internasional Jemaat Islam Ahmadiyah di Qadian dan Rabwah. Ia telah mempelajari dengan saksama mengenai Ahmadiyah dan pendirinya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Ia telah mempelajari dengan mendalam dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan rumit dengan cara yang sangat gamblang. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan telah memberikan ia kemampuan yang baik untuk menjelaskan apa yang dipelajarinya. Itu adalah pekerjaan yang paling gesankan yang pernah ditulis dengan sikap netral, jujur dan adil oleh seseorang yang meneliti Ahmadiyah.
Selanjutnya di bawah ini adalah kutipan lengkap dari brosur tersebut

Ahmadiyah: Selayang Pandang
Oleh:
Louis J. Hammann Ph.D.
Profesor Ilmu Perbandingan Agama
Gettysburg College
15 Mei 1985

Pendahuluan
Ahmadiyah adalah, sebagaimana kita katakan, suatu sekte messiah dalam Islam. Untuk menghindari apa yang saya sebut sebagai “cold bath syndrome” saya akan buat kata
pendahuluan dengan singkat. Pendahuluan seperti ini mungkin dapat menghindari keterkejutan dan kebingungan yang dapat mengantarkan kita kepada asingnya dunia Islam di abad
sembilan belas. Saya tidak memiliki gagasan berapa banyak di antara para pembaca yang pernah mendengar tentang Jemaat Islam Ahmadiyah. Kita akan lihat sedikit nanti mengenai seorang muslim yang shaleh, tinggal di Punjab, pada tahun 1889 mendakwakan diri bahwa ia adalah Mahdi dan al-Masih. Ini adalah titik perhatian utama, di mana kita kembali ke tahun
1876 ketika Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan wahyu saat ia berusia 41 tahun. Saat yang dramatis itu, seseorang dengan kepribadian yang shaleh telah meraih suatu taraf kesadaran diri
(self-realization). Sejak itu sampai waktu kewafatannya di tahun 1908, Hazrat Ahmad adalah seorang manusia yang dengan daya kenabian membawa pengikutnya kepada apa yang dapat
dirasakan sebagai kebangkitan kembali Islam.


Ahmadiyah adalah gerakan pertablighan yang telah memiliki 10 juta pengikut ( Jumlah Muslim Ahmadi berdasarkan data tahun 1985, sekarang berjumlah lebihdari 200 juta orang).

mulai dari Indonesia dan Malaysia sampai ke Pakistan dan Afrika Tengah dan Afrika Barat serta Amerika.
Saat ini, struktur organisasinya dipusatkan di Pakistan Tengah,di kota Rabwah. Pemimpin gerakan ini sekarang adalah yang ke lima Mansoor Ahmad, pada masa mirza Tahir Ahmad, salah satu cucu dari pendiri Ahmadiyah. Di awal tahun 1985, Huzur – panggilan sayang bagi Mirza Tahir Ahmad, pindah ke London sewaktu tekanan mulai mencapai puncaknya kepada Jemaat
Ahmadiyah di Pakistan. Landasan hukum bagi siasat pemerintah (untuk melakukan tekanan) yang pertama kalinya adalah dengan cara mengamandemen konstitusi yang diumumkan secara resmi tahun 1974, yaitu menyatakan orang-orang Ahmadi sebagai “non-Muslim”. Baru-baru ini di bulan April tahun 1984, pemerintah menetapkan suatu peraturan yang menyatakan
bahwa kaum Ahmadi, di bawah ancaman hukuman, dilarang, secara langsung atau tidak langsung, untuk menyebut diri mereka sebagai muslim atau menyebut mesjid sebagai tempat
ibadahnya atau menggunakan adzan sebagaimana kaum muslimin menggunakannya untuk tujuan panggilan sembahyang. Kaum Ahmadi tidak boleh menyebarkan: Dengan perkataan atau dengan menulis atau dengan mengatasnamakan agama mereka dengan maksud untuk mengajak
orang lain (bergabung dengan Ahmadiyah). Mereka juga dilarang menggunakan istilah atau sebutan seperti yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad atau ahlul bayt (keluarga)-nya untuk anggota masyarakat Ahmadi atau untuk orang lain.


John Esposito telah mempersiapkan sebuah buku berjudul Suara Kebangkitan Islam (Voices of Resurgent Islam). Buku ini dan buku-buku lainnya bermaksud memperlihatkan Islam
sebagai suatu agama dengan energi baru dan sebagai suatu agama yang tidak lagi layak, jika itu pernah terjadi, memberi gambaran klise dari kekerasan yang tidak masuk akal dari perampok padang pasir. Sebagai pengganti dari penyederhanaan seperti itu, kita harus mencoba untuk mengerti bahwa Islam paling tidak memiliki fenomena kerumitan yang sama dengan agama Kristen. Agama yang berakar dalam Al-Qur’an dibungkus oleh penyederhanaan-penyederhanaan seperti itu adalah jelas tidak tepat. Tetapi bagaimana kita
mengubah pola pikir kita sebagai pengamat, ilmuwan dan pengajar dalam konteks ini untuk mampu memahami keragaman pengalaman beragama yang mempersatukan komunitas manusia? Kita harus masuk ke dalam tradisi sejarah agama-agama, tapi kita juga harus membiasakan diri kita kepada kenyataan yang sekarang ada pada mereka.


Ahmadiyah adalah, jika ini motivasi kita, layak untuk dicermati. Melalui Ahmadiyah kita mungkin lebih dekat kepada Islam sebagai suatu fenomena sejarah dan sebagai kenyataan yang
ada masa kini. Ahmadiyah memiliki keuntungan karena terdokumentasi dengan baik. Para pengikutnya berkeinginan dan mampu untuk menampilkan pergerakan ini sebagai suatu
pengalaman pribadi dan sebagai suatu yang bersejarah. Mereka juga diyakinkan oleh perintah Al-Qur’an bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama.” Dalam Ahmadiyah kita dapat menghargai keshalehan orang-orang Islam dan merasakan kelangsungan hidup dari Islam sebagai suatu kekuatan besar dalam dunia modern ini.


Pergerakan Ahmadiyah dalam Islam
Sebagaimana kita ketahui, pertengahan abad 19 masehi adalah masa bergaungnya keilmuan dan bergejolaknya kehidupan beragama. Ilmu pengetahuan alam dan sosial dimasak pada alat pembakar terdepan. Pada alat pembakar belakang, ketel dari tradisi agama-agama besar mulai
mendidih. Di samping perumpamaan tersebut, adanya transisi di abad 19 kepada keajaiban perubahan-perubahan dan kengerian akan abad 20 ditandai dengan pembaharuan-pembaharuan gerakan dan lahirnya kaum beragama di seluruh dunia. Bergeloranya pandangan-pandangan akan masa depan (apocalyptic visions) dan pemulihan kisah-kisah sejarah Kristen di dunia Barat telah dikenal dengan baik. Apa yang mungkin tidak diketahui dengan baik adalah kenyataan bahwa dunia Islam juga melihat gerakan-gerakan itu yang mana Al-Qur’an dan nubuatan (Nubuatan adalah kabar-kabar mengenai masa depan (prophecy). nubuatan tertulis (scriptural prophecies) lainnya membawa kepada pemenuhan nubuatan itu. Keyakinan itu telah tersebar luas mendekati lintas sejarah karier kemanusiaan. Pendekatan ini, tentu saja telah diduga. Bagaimanapun juga seseorang mungkin membenarkan
keyakinan itu bahwa suatu lintasan peristiwa sedang dibuat, apakah dengan analisis sejarah atau penafsiran pandangan pandangan nubuatan, tidak terelakkan lagi. Kita tidak dapat dan tidak perlu memutuskan dilema ini, apakah itu adalah suatu proses sejarah, campur-tangan Tuhan atau suatu kesepakatan rahasia dari dua penilaian yang membawa dunia kepada suatu kemelut. Rupanya, keyakinan yang tersebar luas dalam lingkaran tradisi keagamaan itu, dengan adanya zaman baru dari transformasi keilmuan, sosial dan politik juga disertai dengan penurunan nilai-nilai moral dan spiritual.
Dewa Molokh (Molokh pada zaman dahulu adalah dewa sembahan Bani Amon yang kepadanya dipersembahkan anak-anak sebagai korban, juga di Yerusalem (Lihat bagianKamus dalam Alkitab keluaran Lembaga Alkitab Indonesia, hlm. 346) atau namadewa Kanaan yang menuntut korban dalam rupa manusia (Lihat EnsiklopediPerjanjian Baru karya Xavier Leon-Dufour, hlm. 402). di zaman baru industri dan ilmu pengetahuan ini meminta manusia untuk mengorbankan hubungan-hubungan ketuhanan yang ada demi kesejahteraan dan kebangsaannya. Sebagaimana pandangan-pandangan yang membawa seorang manusia dalam masyarakat sekuler, desakan keagamaan di banyak bidang mencoba untuk bertahan. Hubungan perniagaan dan hubungan antarmanusia telah merebut tempat persekutuan (komuni) yang dilakukan dengan Tuhan. Tidak hanya dunia yang berubah namun perubahan adalah mengubah trend (kecenderungan), lamanya menggerakkan peradaban dan budaya yang tidak lagi dapat menahan tekanan peristiwa melebihi kemampuan adanya pilihan-pilihan perlindungan dan pemeliharaan keagamaan, tidak lagi dapat efektif. Sebagaimana zaman baru telah terbit, akankah cahaya tetap bersinar dalam dunia yang tak bertuhan yang telah mengorbankan kebaktian dan kesalehan kepada Tuhan untuk proses yang rasional dan kemajuan materi? Ada banyak yang tidak dapat memiliki kemungkinan itu. Saya pikir, bagaimanapun juga, hal itu bukanlah suatu kecenderungan negatif yang menggerakkan Mirza Ghulam Ahmad kepada ramalannya. Adalah sama ragu-ragunya [bagi kita] bahwa Hazrat Ahmad hanya didorong oleh penilaian kritis dari peristiwa-peristiwa duniawi untuk menyatakan dirinya sebagai seorang Mahdi di zaman ini. Begitulah, ia bukan seorang pembicara terkenal tentang malapetaka karena adanya suatu tekanan perasaan (depresi), juga ia tidak mengkhayalkan arti wahyu seperti cara para wartawan (atau bahkan para sejarahwan) yang mencatat kecenderungankecenderungan yang ada sekarang di halaman-halaman opini pada surat kabar kita.


Dari pandangannya dan darinya ia mendirikan pergerakan ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad
menjawabnya berdasarkan wahyu. Ia adalah seorang yang sangat shaleh. Nubuatan serta ucapannya [tidak hanya] terlihat sebagai ungkapan jiwa yang bersentuhan dengan trend dan
peristiwa-peristiwa masa kini, namun lebih kepada ungkapan jiwa dalam persekutuan (komuni) dengan Tuhan yang hidup. Dalam cita rasa ilmiah, kita kelihatannya mencari suatu keadaan yang mendasari perilaku seseorang. Dan selama lebih dari 100 tahun terakhir, para sarjana mencari-cari akar psikologis dari pengalaman beragama. Namun ada juga klaim yang dibuat dalam lingkaran gerakan keagamaan tertentu yang mungkin membawa kepada tidak adanya prasangka. Apa yang Hazrat Ahmad maksud mengenai dirinya dan apa yang dimaksud oleh para pengikutnya tentang dirinya adalah cukup jelas. Perkiraannya mengenai rendahnya tingkat keshalehan dan kepercayaan kaum muslimin sebagai suatu penilaian tidaklah sesederhana itu pada kondisi sekarang bagi seorang peneliti yang peka. Pendakwaannya sebagai seorang nabi di Akhir Zaman ini terlihat tidak hanya psikologi khusus saja. Ia lebih merasa atau mengetahui dalam lubuk-lubuk hatinya bahwa ia “mendapatkan kedekatan yang sempurna dengan Tuhan Yang Maha Perkasa.“ Tidak dapat disangkal adanya landasan wahyu dari pengetahuan atas dirinya sendiri ini. Keyakinan atas kebenaran wahyu selalu merupakan landasan kekuatan bagi Ahmadiyah dan pada kesempatan yang sama sikap permusuhan ditampilkan kepada gerakan ini oleh para mullah (kyai) Islam ortodoks.


Namun mungkin kita harus kembali pada permulaan gerakan Ahmadiyah dalam Islam agar mendapat beberapa sentuhan asli yang dinamis yang telah memberikan rangsangan khas selama 100 tahun terakhir ini bagi 10 juta orang yang berasal dari daerah Dar al Islam (Negara Islam).
Pendiri Ahmadiyah lahir di sebuah kota kecil di Punjab pada tahun 1835, di kota Qadian yang berjarak tidak lebih dari 30 atau 40 mil sebelah Timur kota Amritsar, di mana terletak kuil emas kaum Sikh yang pada pertengahan tahun 1984 menjadi pusat perhatian dunia. Di sana lahir Mirza Ghulam Ahmad, di sebuah daerah di mana tradisi-tradisi agama kuno dan baru hidup dalam kebersamaan yang rapuh. Saat kelahirannya, Andrew Jackson sedang menjadi Presiden Amerika Serikat. Joseph Smith dua tahun sebelum kelahirannya telah mendirikan Gereja Latter-day Saints. Louis Phillipe saat itu merupakan pemerintahan monarki dari Prancis. Dua tahun setelah kelahiran Ahmad, Victoria menjadi Ratu Inggris dalam usia 18 tahun. Chopin sedang mencapai kejayaan dalam kariernya. Dan hanya setahun sebelumnya, Friedrich Schleiermacher meninggal dunia.
Bagaimanapun, sampai umur 41 tahun (1876) Hazrat Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang akan membawanya kepada keyakinan/kepastian bahwa di dalam pribadinya telah genap datangnya Mahdi. “Setelahnya,” sebagaimana kata Zafrullah Khan, “telah diwahyukan kepadanya bahwa ia juga adalah al-Masih yang Dijanjikan dan benar-benar seorang nabi yang datang seperti yang telah dikabarkan dalam agama agama utama di dunia.” Ia adalah “Juara yang berasal dari Tuhan dengan jubah pakaian semua nabi-nabi.” Sejak pendakwaannya sebagai Al-Masih yang Dijanjikan sampai kewafatannya pada tanggal 26 Mei 1908, aktivitas kenabiannya tidaklah surut.

Ia memimpin Jemaat Ahmadiyah yang pengikutnya mencapai ribuan orang. Di tahun-tahun awal gerakan Ahmadiyah, ia sendiri senantiasa tampil memimpin dalam pertandingan (perdebatan) dengan para pemimpin agama dan para pendakwa juru selamat yang membangkitkan rasa kepercayaan dirinya dengan bijaksana. Para penentang dan lawan-lawannya mulai dari para pemimpin Arya Samaj (Hindu) sampai pendeta Kristen di India dan di Amerika Serikat.
Melalui semua konflik pribadi yang diembannya sebagai pemenuhan pendakwaan kenabiannya, ia terus membawa perintah-perintah wahyu yang bertujuan untuk kemajuan Islam dalam zaman baru yang sedang tampil di depan. Semua energi kemanusiaannya, sebagaimana dipercayai oleh
para pengikutnya, difokuskan kepada satu sebab bahwa kebangkitan Islam ini merupakan genapnya pemenuhan ruhani dari semua agama-agama dunia. Namun ia bukanlah pembawa
amanat yang netral. Peranannya adalah disengaja di bawah kesadaran akan rencana Tuhan. Tidak hanya memberitahukan terpenuhinya nubuatan [para nabi], namun lebih kepada
takdirnya untuk mewujudkan proses sejarah ketuhanan. Di antara banyak pernyataan Hazrat Ahmad yang membuktikan kepastian akan peranannya adalah: “… adalah jelas bagiku
berdasarkan wahyu Tuhan bahwa Al-Masih yang kedatangannya telah dijanjikan di antara orang Islam sejak awal, dan Mahdi yang kedatangannya telah ditetapkan Tuhan di saat merosotnya umat Islam dan tersebarnya kekeliruan, dan akan dibimbing secara langsung oleh Tuhan, dan mengajak orang turut ambil bagian dalam perjamuan sorgawi, dan kedatangannya telah dikabarkan oleh Nabi Suci s.a.w. seribu tiga ratus tahun yang lalu, adalah aku sendiri. Wahyu Tuhan mengenai hal ini telah diberikan kepadaku dengan sangat terang dan terus menerus sehingga tidak lagi tersisa ruang bagi keraguan. Wahyu itu penuh dengan genapnya nubuatannubuatan agung yang benderang seterang siangnya hari. Seringnya [wahyu] dan jumlahnya serta kekuatan yang menakjubkan memaksa aku untuk mengakui bahwa itu terdiri
dari perkataan-perkataan yang berasal dari Tuhan Yang Esa tanpa sekutu bagi-Nya, Sang Pemilik Kalam Al-Qur’an. Agar mendapatkan ridha Allah, aku dengan ini memberitahu kamu
semua pentingnya kenyataan bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa, diawal abad ke-14 ini, memilih aku yang berasal dari-Nya bagi kebangkitan dan pendukung kebenaran ajaran Islam.”

Penulis telah diberitahu bahwa ia adalah Pembaharu (Mujaddid) zaman ini dan ketinggian ruhaninya memiliki kesamaan dengan ketinggian ruhani Yesus, putra Maria, dan keduanya saling berhubungan satu dengan lainnya serta memiliki kemiripan satu dengan lainnya. Dan akhirnya: “Pertanyaan yang tersisa siapakah Imam Zaman ini haruslah, berdasarkan Perintah Ilahi, ditaati oleh seluruh kaum Islam, shaleh, penerima wahyu dan kasyaf. Tidak ada keraguan padaku untuk mengakui bahwa akulah Imam Zaman ini.” Bagaimanapun juga, ia sangat saksama dalam melukiskan misinya: “Tapi aku adalah seorang rasul dan seorang nabi tanpa syari’at baru dalam beberapa hal Tuhan mewahyukan padaku apa yang tersembunyi, dan karena kelemahlembutan yang telah dilimpahkan kepadaku karena ketaatanku kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan karena mendapatkan namanya.”
Ia berkali-kali tetap bertahan dengan pendapatnya bahwa Meterai Kenabian [khaatamul-anbiya’] tetap terpelihara. Ia adalah bagi Muhammad (Nabi pembawa syari’at yang memiliki
Kitab) sebagaimana Yesus bagi Musa (yang memiliki hukum kuno, Messias telah datang tidak untuk membatalkan, tetapi hanya menggenapkan). Ini adalah penting, kemudian untuk menghargai ketulusan Ahmadiyah adalah dengan mencatat apa yang Ahmad tidak dakwakan. Musuh-musuhnya, bagaimanapun juga biasanya tidak berkeinginan menjadi sangat diskriminatif. Menurut mereka, pendakwaannya membahayakan pandangan yang ada mengenai akhir dari kenabian Muhammad. Hal itu mungkin terlihat sangat baik, namun pendakwaan Ahmad hanya untuk menjadi penafsir pesan Al-Qur’an yang terilhami dan pembawa pesan lahirnya kembali serta pembaharuan atas satu agama yang hakiki: “Bagi umat manusia tidak ada kitab lain kecuali Al-Qur’an, dan bagi bani Adam, tidak ada Utusan [Rasul] dan perantara lain kecuali Muhammad, yang terpilih s.a.w.” Ahmad adalah seorang nabi, bukan nabi [pembawa syari’at], Al-Qur’an [tidak ada Qur’an lain], Kitab [tidak ada kitab suci lain], [juga] bukan sebuah buku di antara banyak [buku], Islam agama asli yang dipulihkan oleh sokongan Ahmad.

Masih banyaknya kaum muslimin yang merasa gusar dan terhina, alasannya tidak diragukan lagi karena adanya kekolotan yang wajar atas keimanan, dan nampaknya akibat dari hal tersebut adalah keinginan untuk menyalah-artikan nubuatan-nubuatan-nya yang penuh dengan retorika. Pada kaum Kristen juga ditemukan alasan-alasan [yang serupa] untuk diserang. Paradoks besar orang Kristen dirasakan ada di Punjab sama halnya [paradoks] itu ada pada berbagai peristiwa lain yang bahkan lebih dari kesuburan tanah: pengharapan datangnya Yesus kedua kalinya menambah suburnya penyebaran agama Kristen, sementara kenyataan adanya
kemungkinan kembalinya [Yesus] terancam dengan berkurangnya semangat yang membara akan keyakinan itu. Rupanya, sesuatu dirasakan lebih penting dengan menunggu datangnya seorang tamu daripada berbicara dengan tamu yang sekali datang ke ruang tamu Anda. Demikianlah dengan Hazrat Ahmad. Namun kita mungkin mengerti kritikannya, dengan adanya cara pendakwaan yang rumit. Tidak hanya dia akui bahwa ia memiliki “kesamaan yang khas
dengan Yesus“ namun pada sisi negatifnya, ia telah diutus “…bahwa aku akan melumpuhkan doktrin salib. Untuk itulah aku telah diutus,” ia melanjutkan, “untuk memecahkan salib dan membunuh babi.” “Syirik“-nya kaum Kristen membawa mereka kepada suatu penafsiran yang aneh mengenai penyaliban. Anggapan terhadap eksekusi [penyaliban] Yesus telah diartikan sebagai suatu pengorbanan dirinya-sendiri untuk penebusan –Sebenarnya Tuhan membayar dirinya sendiri bagi suatu penebusan agar ciptaannya memikat dengan [memiliki] kerajaan-kerajaan dan kekuatan-kekuatan atas dunia ini. Bagi kebanyakan orang Islam gagasan itu mungkin tidak dapat dipahami; bagi orang Ahmadi gagasan itu menjadi benar-benar suatu laknat. Sebagai pengganti dari khayalan keagamaan itu, Ahmad menawarkan suatu skenario yang kelihatannya lebih –kemungkinan lebih, karena di sana buktinya dirasakan dapat diuji untuk suatu alternatif.


Di negeri Kashmir, dengan ibu kota Srinagar, sebuah kuburan telah ditemukan, melindungi jenazah dari seorang nabi kuno yang dikenal sebagai Yus Asaf. Ketika anggapan atas legenda ini bertemu dengan nubuatan Alkitab dan dengan membaca Injil-Injil secara teliti, kisah tradisional pasca penyaliban berubah secara radikal. Untuk memenuhi nubuatan bahwa Messias harus mengajarkan “domba Israil yang hilang,” Yesus pulih dari luka parah akibat penyaliban, pergi berpindah tempat ke arah Timur kepada domba-domba Afghan yang tersesat dan kepada suku-suku di deretan sebelah Utara India-Pakistan di mana tinggal suku-suku pengembara (nomad) yang sampai dengan hari ini budaya, agama dan sifat khas ras-nya terbuat dari bangsa Semit asli merupakan sebab yang dapat diterima seluruhnya. Di sana “Yus Asaf” menikah, melanjutkan
pekerjaan kenabiannya, menjadi orang tua dan wafat dalam usia 120 tahun. Keturunannya sampai generasi ke-65 masih tinggal di daerah sekitar makamnya. Dengan demikian Hazrat Ahmad telah “melumpuhkan doktrin salib” dan selanjutnya lebih memperbaiki pekerjaan Islam tradisional mengenai Yesus putra Maria. Kenyataan-kenyataan dan argumentasi-argumentasi yang disusun oleh Ahmad dalam bukunya Al-Masih di India, menjadi dan merupakan kisah terhindarnya Yesus dari kematian di atas salib serta perjalanannya ke India. Kata-kata pembukaannya dalam buku itu layak dicatat sebagai petunjuk atas motivasi serta pernyataannya: “Aku menulis buku ini dengan maksud untuk menjauhkan pandangan-pandangan yang keliru dan berbahaya tentang kehidupan awal dan kehidupan akhir Nabi Isa a.s. – yang sudah ada di kebanyakan golongan Islam dan Kristen – dengan mengemukakan fakta fakta yang benar, kesaksian-kesaksian sejarah yang meyakinkan dan yang telah terbukti, serta naskah-naskah kuno umat non-Muslim lainnya. Yakni, pandangan-pandangan yang dampak-dampak mengerikannya itu tidak hanya menghambat serta menghancurkan konsep Tauhid Ilahi, melainkan pengaruhnya yang sangat buruk dan beracun sedang tampak menggerogoti keadaan akhlak umat Islam di negeri ini.”


Jadi, pesan dari Pendiri Ahmadiyah menjadikan suatu perubahan serius dari ajaran Gereja sama halnya dengan suatu perbaikan atas pengertian Yesus bagi kaum ortodoks Islam. Masih ada tantangan lain yang diajukan oleh Ahmad dan pengikutnya kepada pandangan ortodoks. Masih Mau’ud melarang jihad terhadap pemerintah Inggris. Beberapa menuduhnya memiliki motif untuk kepentingannya sendiri, eskipun perintah yang ada berlawanan dengan jihad dalam kasus tertentu memperlihatkan sikap pengecut secara umum dan kurangnya gairah terhadap Islam. Seperti biasanya suatu kasus, bagaimanapun juga, motif-motif yang sebenarnya berbeda dan didasarkan atas wahyu ketimbang perhitungann perhitungan politis. Hazrat Ahmad menjelaskan larangan terhadap jihad dengan cara sebagai berikut: “Singkatnya, di zaman Rasulullah s.a.w., landasan jihad Islam adalah, bahwa kemurkaan Tuhan telah bangkit kepada kaum yang zalim. Akan tetapi hidup di bawah pemerintahan yang baik/ramah, seperti pemerintahan ratu kita, adalah bukan jihad namanya untuk membuat rencana pemberontakan terhadapnya, melainkan
suatu gagasan biadab yang lahir dari suatu kebodohan.”
Ia selanjutnya menyatakan, dalam nuansa bahasa yang didorong oleh misinya: “Jihad zaman ini adalah berjuang untuk meninggikan kalimat Islam, untuk menyanggah keberatankeberatan pihak lawan, untuk mempropagandakan
keistimewaan-keistimewaan ajaran Islam, dan untuk menyatakan kebenaran Rasulullah s.a.w. di seluruh dunia. Ini adalah jihad sampai Tuhan Yang Maha Besar mendatangkan suasana lain di dunia ini. Semangat jihad dengan senjata kemudian dapat dialihkan menjadi “Jihad Akbar“ atau berjuang melawan hawa nafsu, menuju kepada disiplin ruhani yang akan memungkinkan masyarakat meraih ridha Tuhan, bangkitnya kembali Islam.”

Baiklah, mari kita teruskan. Namun tidak ada waktu yang cukup bagi kita dalam suatu karangan singkat, bahkan untuk suatu pengenalan saja. Kemungkinan motif dan kekuatan gerakan Ahmadiyah dalam Islam dapat dipahami dari satu pernyataan akhir Masih Mau’ud. Sehubungan dengan janji setia dari para pengikutnya, ia berkata:
“Hendaknya diketahui oleh semua orang yang berhati tulus yang telah mengambil janji Ba’iat bahwa tujuan dari perjanjian ini adalah dinginnya kecintaan kepada dunia dan dalam hati sanubari harus tumbuh kecintaan kepada Tuhan dan Rasulullah, dan jiwa dijauhkan dari dunia ini sehingga tidak timbul keraguan untuk perjalanan selanjutnya.”
Al-Qur’an menyatakan, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Siapa saja yang secara sukarela mengambil perjanjian dengan nabinya Nabi [s.a.w.], Islam tetap menjadi agama yang masa depannya dapat dicapai. Masih sanggahannya Hazrat Ahmad,

“Ini bukanlah suatu ungkapan baru.” Mahdi tidak menganggap untuk mengganti kedudukan mulia setiap nabi, misinya adalah
hanya mengembalikan keimanan sejati dan kemurnian serta pengertian hakiki tentang Tuhan yang mana telah, sedang dan akan menjadi agama yaitu Islam"
. Apa pun yang muncul di luar pergerakan ini, di dalam Jemaat Ahmadiyah para pengikutnya dapat menyatakan dengan kesadaran penuh mengenai diri mereka dan pendirinya.


Satu kalimat terakhir, untuk menghilangkan dugaan mengenai nama Gerakan ini adalah suatu penghormatan kepada egotism Masih Mau’ud. Kenapa gerakan ini asalnya dinamakan Gerakan Ahmadiyah dalam Islam? Perkataan Masih Mau’ud:

“Nama yang tepat untuk Gerakan ini dan yang mana kami lebih menyukai menyebut bagi diri kami adalah muslim sekte Ahmadiyah. Kami telah memilih nama ini karena Rasulullah s.a.w. memiliki dua nama. Muhammad dan Ahmad; Muhammad adalah nama sifat keagungan, dan Ahmad adalah nama sifat keindahannya…Tuhan telah mengatur kehidupan Rasulullah s.a.w., kehidupannya di Mekkah sebagai manifestasi dari nama Ahmad dan umat Islam telah diajarkan kesabaran dan ketabahan. Kehidupannya di Medinah sebagai manifestasi dari nama Muhammad, dan Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya menetapkan untuk menghukum musuh-musuhnya. Namun ada suatu nubuatan bahwa nama Ahmad akan dimanifestasikan kembali di Akhir Zaman dan orang itu akan muncul dengan menyandang kualitas keindahan sebagai karakter Ahmad dan semua peperangan akan berakhir. Untuk alasan inilah telah dipertimbangkan dengan baik bahwa nama untuk sekte ini sebaiknya Ahmadiyah, sehingga tiap orang yang mendengar nama ini menyadari bahwa sekte ini telah datang untuk menyebar kedamaian serta keamanan dan tidak akan berhubungan dengan perang dan perkelahian.”


Adalah benar-benar ironis bahwa suatu Gerakan yang menganjurkan perdamaian di antara kaum beragama dan, tentu saja, adalah arti dari nama agama Islam, harus dihilangkan kebebasannya dalam beribadah dan kepercayaannya serta misinya di negara asalnya dan di berbagai tempat lainnya dalam dunia Islam. Adalah juga sejarah yang mengenaskan bahwa ajaran perdamaian ini harus dipisahkan dari Islam itu sendiri.


Louis J. Hammann
Gettysburg College

1 comment:

jusman said...

assalamualikum mas edi. blognya bagus. salam dari jemaat Lahat, sumsel.