.quickedit{ display:none; }

Monday, April 20, 2009

GERAKAN AHMADIYAH DALAM KRISIS

GERAKAN AHMADIYAH DALAM KRISIS
Oleh: M. Dawam Rahardjo

Jemaat Ahmadiya, demikian mereka memanggil dirinya, di Pakistan, negara kelahirannya sendiri, sejak 1889, secara konstitusional pada tahun 1984, dianggap sebagai kelompok
non-Muslim dan golongan minoritas, namun diberi hak hidup, bahkan mempunyai perwakilan di parlemen. Sedang di dunia Islam, organisasi-organisasi Dunia Islam, semacam Rabithah
Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia itu, juga menganggap Ahmadiyah sebagai kelompok yang “sesat dan menyesatkan” dan karena itu tidak diizinkan mendirikan organisasi formal yang menyelenggarakan kegiatan pengembangannya. Di kebanyakan negara-negara Islam,

Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajaran-ajarannya, tidak boleh menamakan masjid sebagai tempat beribadah dan juga tidak diperbolehkan menyerukan adzan sebagai cara memanggil orang bersembahyang. Di Indonesia, baru-baru ini, menjelang Hari Raya Idhul Fitri, Jema’at Ahmadiyah oleh Front Pembela Islam, dilarang mengikuti sholat Id, dan hanya boleh
melakukan ibadah itu di dalam rumah mereka masing-masing. Ketika anggota Jemaat Ahmadiyah akan melaksanakan sholat Id di Parung, maka polisi mencegah mereka, karena khawatir akan terjadi tindak kekerasan.
Padahal Ahmadiyah sendiri tidak menganggap dirinya sebagai kelompok non-Muslim Mereka hanya mengaku sebagai sebuah sekte atau mazhab dalam Islam. Bahkan mereka juga
menganggap diri mereka sebagai salah satu bentuk dan manifestasi gerakan kebangkitan Islam pada abad ke-19.
Namun, karena mereka ditolak identifikasinya sebagai bagian umat Islam, maka mereka melakukan kegiatannya sendiri. Bagaikan kaum Muslim di zaman Nabi dalam periode awal,
karena ditolak di negeri kelahirannya sendiri, sehingga terpaksa hijrah ke Negeri Kristen Abesenia dan kemudian Yathrib yang sudah merupakan suatu masyarakat plural, gerakan Ahmadiyah juga terpaksa hijrah ke negara-negara non-Muslim atau negara-negara sekuler. Sejak tahun 1985, Mirza Thahir Ahmad, Khalifah gerakan Ahmadiyah, memindahkan
pusat kegiatannya ke London. Tapi justru di negara-negara sekuler itulah Ahmadiyah berkembang pesat, bukan saja karena gelombang migrasi orang-orang India-Pakistan, tetapi
juga karena bertambahnya penganut Islam di kalangan orangorang Eropa Barat sendiri. Pemerintah Inggris, dengan alasan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama
kebebasan beragama, orang-orang Ahmadiyah diberi kemudahan untuk berpindah ke Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya, sehingga banyak orang yang sebenarnya
bermotivasi untuk bermigrasi ke Eropa Barat yang lebih makmur, masuk Ahmadiyah agar mendapatkan kemudahan meninggalkan tanah airnya yang masih dililit kemiskinan dan
penindasan politik. Faktor ini juga memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan gerakan yang mula pertama didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India-Pakistan itu.

Gerakan Ahmadiyah, sebagai organisasi sudah dikenal di Indonesia sejak 1924 dengan berdirinya sempalan gerakan ini, yaitu Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Mohammad Ali.
Ini disusul dengan masuknya Ahmadiyah yang lebih “asli” yaitu Ahmadiyah Qadian, lewat Tapak Tuan Aceh. Namun, di Indonesia, yang lebih dikenal adalah Ahmadiyah Lahore,
karena penerbitan-penerbitan mereka tentang Islam dalam bahasa Inggris. Dari penerbitan-penerbitan itulah, terutama karangan Mohammad Ali dan Kwaja Kamaluddin, tokoh pergerakan Islam HOS Tjokroaminoto, banyak belajar Islam, karena ia tidak bisa berbahasa Arab sehingga tidak bisa membaca literatur Islam berbahasa Arab. Belajar Islam dari Ahmadiyah ini diikuti pula oleh Bung Karno muda, seorang nasionalis Muslim yang mulai tertarik pada ajaran Islam. Bung Karno sendiri suka membaca literatur Ahmadiyah yang dinilainya mampu menjelaskan ajaran Islam secara rasional, sementara itu ia melihat Islam tradisional sebagai ajaran yang
penuh dengan kekolotan, sehingga ia menyebutnya “Islam Sontoloyo.” Karena simpatinya yang terbuka kepada gerakan inilah maka Bung Karno pernah dituduh sebagai telah masuk
Ahmadiyah bahkan menjadi agen penyiaran, sehingga ia terpaksa menulis sebuah artikel yang berjudul “Saya Tidak Percaya Ghulam Muhammad Sebagai Nabi.” Jadi Bung Karno tertarik dengan dakwah Ahmadiyah, tetapi tidak bisa menerima salah satu unsur aqidahnya, yaitu tentang kepercayaan kepada nabi. Pada waktu itu persepsi umum dikalangan umat Islam adalah bahwa orang Ahmadiyahmempercayai adanya nabi baru sesudah Muhammad saw. yang
dipercaya sebagai nabi dan rasul, pungkasan (khataman Nabi) dengan seruan “la nabiya ba’dah,” tak ada nabi sesudah itu.Menganggap Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah sebuah
penyelewengan aqidah yang hukumnya “sesat dan menyesatkan.” Namun, dalam gerakan sempalan Lahore, Mirza Ghulam Ahmad tidak diakui sebagai nabi, melainkan hanya seorang
mujaddid. Sebenarnya pengakuan inipun ditolak oleh kebanyakan umat Islam. Mereka menganggap Jamaluddin Alafghani dan Muhammad Abduh sebagai mujaddid. Karena
itu maka Ahmadiyah Lahore tidak dipandang sesat dan karena itu dakwahnya masih bisa diikuti. Apalagi, buku-buku Mohammad Ali memang berisikan pemikiran-pemikiran yang
cemerlang dan mengagumkan. Ia telah menerjemahkan al Qur’an ke dalam bahasa Inggris, dalam bahasa sastra Inggris yang tinggi mutunya, dengan judul “The Holy Qur’an” (1909).
Ia juga telah menyusun sebuah buku pengantar Islam (introduction to Islam) dalam bahasa Inggris dalam suatu narasi yang anggun dan dapat diterima oleh golongan berpendidikan.
Ia juga mengarang sebuah buku mengenai sejarah Muhammad yang disadur oleh HOS Tjokroaminoto.
Dakwah gerakan Ahmadiyah ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pembentukan persepsi Islam secara modern dalam gerakan Islam di Indonesia. Namun Islam dalam wacana Ahmadiyah bukan merupakan Islam ideologis-politis, melainkan lebih sebagai Islam-kultural. Di situ Islam dipersepsikan sebagai suatu agama yang rasional dan cocok
dengan masyarakat modern.
Ahmadiyah Qadian juga ikut berkembang, tetapi lebih secara diam-diam, terutama setelah mendidik sejumlah anak muda dari Madrasah Thawalib, Padang Panjang. Jika Ahmadiyah
bergerak di tataran cendekiawan dan kaum terpelajar, maka Qadian lebih banyak bergerak di tingkat bawah dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat oleh mubaligmubalig
muda yang terdidik. Karena itu dakwah keduanya juga berbeda. Jika Ahmadiyah Lahore mengenalkan Islam sebagai agama yang rasional, maka Ahmadiyah Qadian lebih mengutamakan pendidikan akhlak dalam rangka pembentukan masyarakat ethis (ethical community). Selain itu Ahmadiyah Qadian lebih menekankan ortodoksi yang tak berbeda dengan Islam Sunni pada umumnya, walaupun lebih bercorak teologi daripada fiqih.

Di Indonesia, Ahmadiyah dikenal dengan Tafsir al Qur’an yang dikarang oleh Khalifah Kedua, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Tafsir inilah yang dijadikan bahan siaran tafsir al Qur’an RRI
yang disampaikan oleh Ustadz Zulkifli Mahmud yang terkenal. Buku tafsir ini juga luar biasa menarik, karena mampu menggali arkeologi agama-agama sebelum Islam, dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran Bashiruddin Mahmud Ahmad ini, pada tahun 1950-an dipopulerkan di Indonesia oleh seorang sastrawan Muslim terkemuka, Bahrum Rangkuti. Pengaruh ini nampak dalam buku sastrawan Angkatan ’45 itu “Kandungan Alfatihah,” sebuah wacana teologi bercorak sastra. Sebagaimana diketahui Bahrum Rangkuti juga dikenal sebagai seorang yang memperkenalkan puisi dan filsafat Mohammad Iqbal di Indonesia, dengan
bukunya yang terkenal “Rahasia Pribadi” (Asraril Khudi). Sekalipun berkembang dalam wacana publik, tidak ada kelompok umat Islam yang menentang wacana itu, bahkan disambut hangat di dunia kebudayaan. Bahrum Rangkuti sendiri pada zaman awal Orde Baru, pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Agama di bawah Menteri A. Mukti Ali. Pada menteri intelektual itu tahu persis apa itu Ahmadiyah dan siapa Bahrum Rangkuti yang pengikut
Ahmadiyah Qadian itu. Tidak adanya reaksi dari kalangan umat Islam itu menunjukkan bahwa gerakan Ahmadiyah tidak mengembangkan ajaran yang “aneh-aneh” yang dianggap penyimpang dari ajaran Islam, sehingga umat Islam seolah olah lupa, bahwa Ahmadiyah memiliki unsur aqidah kenabian yang dianggap menyimpang. Di Yogyakarta, pernah
berkembang pengajian Ahmadiyah dengan nama “Sunday Morning Class” (di lingkungan Gereja Kristen dikenal sebagai Bible School) yang disampaikan dalam bahasa Inggris oleh ustadz Mohammad Irsyad. Pengajian itu ramai dikunjungi orang, terutama dari kalangan mahasiswa. Djohan Efendi, yang masih mahasiswa dan aktivis HMI Cabang Yogya adalah seorang asisten dalam pengajian itu. Para mahasiswa Ahmadiyah di Yogya umumnya adalah aktivis HMI, misalnya Sofyan Lamardy. Kalangan HMI juga mengetahui adanya unsur Ahmadiyah, tetapi mereka tidak melakukan reaksi yang negatif. Salah seorang tokoh cendekiawan Ahmadiyah adalah dokter Ahmad Muhammad Djojosugito, putera Djojosugito, penerjemah al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Tokoh Ahmadiyah yang juga menonjol di kalangan kebudayaan adalah Soedewo, yang uraian-uraiannya mengenai Islam sangat menarik karena tidak konvensional. Dengan nama samaran, dokter Ahmad Muhammad pernah membuat karangan bersambung di majalah “Media” yang diterbitkan oleh PB HMI mengenai Yesus. Dalam karangan itu, ia embongkar mitosmitos mengenai Yesus atau Nabi Isa as yang dipercaya oleh orang Kristen maupun Islam, misalnya Yesus lahir dari seorang ibu yang perawan suci dan Yesus bisa berbicara ketika masih bayi, walaupun tulisan itu dibantah oleh seorang rekannya yang juga seorang dokter, Zainuri Kosim yang membantahnya dengan wacana ortodoksi Islam tentang nabi Isa as. Walaupun polemik itu sangat serius, tapi dokter Zainuri Kosim tidak pernah menyerang lawan polemiknya sebagai penganut Ahmadiyah yang sesat. Lebih luas lagi, seorang ulama Sunni, Hasbullah Bakrie membongkar pula mitos mengenai Yesus, misalnya bahwa Yesus itu mati di tiang salib. Wacana seperti ini memang bersumber dari Ahmadiyah yang membuat
wacana arkeologis bahwa Nabi Isa itu sebenarnya tidak wafat di tiang salib dan dalam waktu 40 hari sembuh kembali, tetapi melepaskan misi kenabiannya dan mengembara sebagai orang
suci dan akhirnya wafat dan dikuburkan di Kashmir. Pengikut ajaran Nabi Isa itu konon masih ada di Kashmir hingga sekarang. Tapi wacana ini tidak menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam yang membawa kepada tuduhan terhadap Ahmadiyah sebagai golongan sesat dan menyesatkan.
Masalah Nabi Isa as ini pernah menimbulkan suatu debat terbuka yang dihadiri oleh sekitar 500 orang. Ahmadiyah diwakili oleh Rachmat Ali, sedangkan dari kalangan umat Islam Sunni diwakili oleh tokoh besar Ustadz A. Hassan Bandung, yang sangat kondang kepiawaiannya dalam debat
dan polemik debat yang terjadi pada tahun 1933 itu berlangsung dengan santun dan bermutu. Debat itu membuat peraturan dalam berdebat yang antara lain melarang peserta mengeluarkan reaksi-reaksi emosional, bahkan isyarat yang bersifat mendukung atau menolak pembicara, sehingga tidak terjadi teriakan-teriakan semacam “Allahu Akbar” dan semacamnya yang memancing emosi itu. Debat ini pun berakhir secara damai, tanpa mengakibatkan dampak
kekerasan terhadap Ahmadiyah. Bahkan konon, moderator debat itu justru tertarik kepada Ahmadiyah dan bergabung ke dalam organisasi ini.
Padahal di Pakistan sendiri, pengikut Ahmadiyah mengalami penganiayaan dan tindakan kekerasan yang sulit dipercaya, yaitu tindakan yang lebih kasar dari yang pernah dialami oleh
para sahabat Nabi oleh kaum musyrik Quraish pada awal dakwah Islam di Mekah. Namun tindakan-tindakan dari kalangan umat Islam yang sudah keluar dari kemanusiaan itu,
tidak menyebabkan pengikut Ahmadiyah bergeming. Bahkan sekte ini terus berklembang sehingga membawa perhatian dari Pemerintah Pakistan sendiri. Tapi sikap Negara Islam itu
adalah memihak kepada golongan mayoritas sehingga menjatuhkan hukuman kepada Jema’at Ahmadiyah dengan menetapkan jemaat ini sebagai golongan minoritas non Muslim. Namun di lain pihak, gerakan Ahmadiyah memperoleh status hukum resmi sebagai organisasi legal dan
boleh melakukan kegiatannya.

Di Indonesia, dalam jangka waktu lama, gerakan Ahmadiyah tidak mengalami gangguan. Bahkan seorang tokoh Ahmadiyah Qadian seperti Brigjen Bahrum Rangkuti memperoleh posisi
yang tinggi di lingkungan militer, yaitu sebagai Imam Tentara dan kemudian diangkat sebagai pejabat tinggi di Departemen Agama RI, tanpa protes. Baru pada tahun 1980, dalam Musyawarah Nasional ke II di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), memfatwakan Jema’at
Ahmadiyah sebagai golongan di luar Islam dan merupakan kelompok yang sesat dan menyesatkan. Fatwa ini menurut MUI didasarkan pada kajian terhadap 9 buku mengenai
Ahmadiyah, tanpa menyebutkan buku apa saja dan juga tanpa klarifikasi dengan Jema’at Ahmadiyah sendiri. Fatwa tersebut dapat dinilai sebagai pengadilan in absensia dan tanpa
pemberian hak terhadap tertuduh untuk menjawab dan memberikan klarifikasi. Pada tahun 1981, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta mengirim surat kepada Menteri Agama RI agar melarang Ahmadiyah di Indonesia. Tapi Depag tidak cepat bereaksi. Baru pada tahun 1984, terbit Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Depag RI yang berisikan penilaian bahwa gerakan Ahmadiyah membahayakan negara dan menodai agama. Surat Edaran ini didasarkan pada Rekomendasi Rakernas MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Padahal Ahmadiyah sendiri tidak pernah berbuat onar atau mengacau, tidak pernah pula mengkritik aliran lain, sebagaimana Muhammadiyah pernah mengkritik pahampaham yang dianut oleh NU dan sebaliknya Ahmadiyah mampu membentuk komunitas-komunitas yang damai tapi penuh gairah dalam beragama. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa hak yang dimiliki oleh MUI untuk tidak mengakui Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam?
Meminjam kalimat Dr. Komaruddin Hidayat, apakah ada otoritas agama yang mendapat “lisensi” dari Tuhan? Di situ MUI telah bertindak sebagai otoritas keagamaan seperti yang pernah dipegang oleh kekuasaan Vatikan pada Abad Pertengahan yang memancing gerakan reformasi Protestan di Eropa Barat yang diikuti dengan gelombang migrasi orang-orang Eropa ke benua Amerika yang sekuler dan liberal itu. Dengan demikian maka tekanan yang menimpa Jema’at Ahmadiyah bersumber dari tiga otoritas, yaitu MUI dan Departemen Agama yang mendapat tekanan dari unsur asing, yaitu Pemerintah Saudi Arabia yang juga merasa memiliki
otoritas atas ortodoksi Islam. Surat dari Kedubes Saudi Arabia itu sebenarnya dapat inilai sebagai sebuah intervensi asing terhadap masalah dalam negeri Indonesia. Gejala ini menunjukkan terjadinya politisasi terhadap kehidupan beragama di Indonesia yang menimbulkan masalah kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia itu. Dari sinilah mulai tersebar persepsi di kalangan umat Islam mengenai kesesatan Jema’at Ahmadiyah. Ini diikuti oleh upaya-upaya untuk “membongkar” bukti-bukti “kesesatan”
Ahmadiyah tersebut, antara lain dengan menggali biografi pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad dan mengkritisi buku kumpulan wahyu yang disebut Tadzkirah. Dari sini lahir tuduhan bahwa Ahmadiyah mempunyai kitab suci tersendiri di luar al Qur’an. Tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Surat Edaran Depag RI mengatakan bahwa Ahmadiyah adalah gerakan sesat karena menganggap dirinya sebagai nabi dan dengan demikian menanggap Nabi Muhammad saw. bukan nabi terakhir sebagaimana dipercayai oleh seluruh umat Islam.

Salah satu fatwa pengkafiran di tingkat internasional pernah pula lahir dari otoritas ulama al Azhar. Tapi konon, fatwa itu sebenarnya adalah pesanan dari Raja Fuad ketika itu. Latar
belakangnya adalah kritik seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, Zafrullah Khan, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negari Pakistan pada awal berdirinya negara itu. Kemudian
tokoh ini diangkat menjadi Ketua Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Ketika itu tokoh ini mengkritik Raja Fuad dari Mesir, sebagai seorang raja yang suka berfoyafoya. Padahal ia dicalonkan menjadi Khalifah, jika kekhalifahan Islam berhasil didirikan. Tapi ide pembangunan kembali Khilafah Islam itu ditolak antara lain oleh Mohammad Rashid
Ridha, seorang pembaharu Islam di Mesir, murid Mohammad Abduh. Karena sakit hatinya, ia meminta kepada ulama al Azhar untuk mengeluarkan fatwa pengkafiran Ahmadiyah, organisasi yang diikuti oleh Zafrullah Khan. Di Indonesia, fatwa ini dikritik dan Zafrullah Khan dibela oleh Mohammad Natsir, rekannya dari Indonesia, yang mengetahui betapa besar peran Zafrullah Khan dalam membela perjuangan rakyat Palestina melawan Israil. Dalam pembelaannya itu Natsir sudah tentu tahu persis tidak saja siapa Zafrullah Khan itu, tapi juga apa itu aliran Ahmadiyah. Hingga kini belum diteliti apa latar belakang fatwa MUI tahun 1980 dan Surat Edaran Depag tahun 1984. Padahal pada tahun 1978 keluar Keputusan Menteri Agama mengenai Pedoman Penyiaran Agama yang antara lain menyatakan agar umat beragama menjaga stabilitas nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo salira, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama juga kerukunan inter agama yang sama (antara pemeluk agama yang sama), sesuai dengan jiwa Pancasila. Berhadapan dengan Keputusan
Menteri Agama ini, maka Surat Edaran tahun 1984, pada dasarnya bertentangan dengan surat keputusan itu, karena sejak itu telah terjadi permusuhan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas di kalangan umat Islam sendiri.

Sungguhpun demikian, sesudah itu tak terjadi peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah. Hingga pada tahun 2001 Bupati Lombok Barat mengeluarkan SK tentang pelarangan terhadap kegiatan Ahmadiyah. Setahun kemudian Lembaga Penelitian dan Pangkajian Islam (LPPI) yang diprakarsai oleh Amin Jamaluddin menyelenggarakan seminar di Masjid Al Azhar, Jakarta yang mengambil kesimpulan tentang kesesatan Ahmadiyah karena penodaan aqidah. Ini diikuti dengan sebuah Penataran Anti-Ahmadiyah oleh LPPI yang antara lain dihadiri oleh Atase Keagamaan Saudi Arabia di Kedubes Saudi Arabia di Jakarta. Dampaknya adalah Surat Edaran Bupati Lombok Timur mengenai pelarangan Ahmadiyah. Langkah itu diikuti oleh Bupati Kuningan, karena di Kuningan telah tumbuh komunitas Ahmadiyah di Manis Lor. Profil komunitas Manis Lor yang damai dan sejahtera itu pernah ditulis di jurnal Ulumul Qur’an yang dilaporkan oleh Djohan Efendi, salah seorang staf peneliti Depag. Kemudian, pada awal abad ke-21 itu, telah lahir buku-buku dan artikel-artikel mengenai kesesatan Ahmadiyah. Ikut menyebarkan sikap anti-Ahmadiyah itu adalah majalah Sabili yang besar oplagnya. Namun Ahmadiyah bukan satu-satunya kelompok yang dianggap sesat. Kelompok-kelompok
keagamaan lain yang dinilai sesat antara lain adalah Inkarus Sunnah, Pembaharuan Isa Bugis, Gerakan Darul Arqam, juga Mahad Al Zaitun, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII),
agama Baha’i dan Syi’ah, belum lagi berbagai aliran kebatinan yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan sesat itu dilatar-belakangi oleh gerakan pemurnian Islam yang antara lain ingin meluruskan aqidah. Penekanan kepada konfirmasi aqidah inilah yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Kristen, di AS ketika mereka berhadapan dengan kritik ilmu pengetahuan terhadap Bibel. Sementara itu yang dianggap sebagai penyelewengan dalam paham Ahmadiyah adalah unsur aqidah yaitu mengenai wahyu dan kenabian. Tuduhan penyimpangan aqidah ini tentu saja dibantah, baik oleh perorangan maupun organisasi resmi Ahmadiyah. Pada tahun 2003 ini, Jema’at Ahmadiyah Indonesia telah menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “Klarifikasi atas Telaah Buku Tadzkirah” yang berisikan beberapa artikel, yang pertama adalah klarifikasi terhadap Laporan Telaah Tadzkirah yang dilakukan oleh Tim Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Depertemen Agama Republik Indonesia. Artikel itu juga memberikan penjelasan mengenai soal wahyu, justifikasi tentang kenabian Ahmad (Mirza Ghulam Ahmad),
masalah pengertian kafir, membantah tuduhan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penganut paham Wahdatul Wujud, mengenai kabar-kabar gaib tentang Muhammadi Begum, tentang penghidmatan terhadap pemerintahan kerajaan Inggris yang kesemuanya merupakan sumber kesalah-pahaman dan fitnah. Dalam penerbitan itu dilampirkan pula surat dari Depertemen Agama yang berisikan undangan untuk mendiskusikan soal Tadzkirah. Ini menunjukkan bahwa
Departemen Agama RI memang ingin ikut mengatur soal-soal aqidah yang dianut oleh kelompok-kelompok keagamaan.
Dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jema’at Ahmadiyah juga telah menyusun suatu makalah yang berjudul “Menjawab Berbagai
Tuduhan Teologis.”
Buntut dari tulisan-tulisan itu adalah aksi kekerasan yang mulai muncul pada awal abad 21, misalnya penyerbuan terhadap komunitas Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur, dan menjalar ke Lombok Utara yang memakan korban manusia yang terbunuh dalam aksi kekerasan itu. Kemudian, terjadilah puncak aksi kekerasan itu dengan penyerbuan Kampus Mubarak yang merupakan Kantor Pusat Jema’at Ahmadiyah, di Parung Bogor pada pertengahan Juli 2005. Tak lama kemudian, pada akhir Juli, Musyawarah Nasional MUI mengeluarkan fatwa lagi yang sifatnya mengukuhkan fatwa tahun 1980 yaitu menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok
non-Muslim yang sesat dan menyesatkan. Ini berlanjut dengan penyerbuan yang serupa pada komunitas Ahmadiyah diKuningan dan Cianjur, termasuk pembakaran masjid-masjid Ahmadiyah. Di sini, fatwa MUI seolah-olah membenarkan aksi kekerasan itu, walaupun MUI secara formal menyatakan tidak menghendaki aksi kekerasan itu, namun mendesak Pemerintah
untuk melarang gerakan Ahmadiyah. MUI tidak mau tahu bahwa fatwa MUI itu dijadikan sumber referensi tindak kekerasan, walaupun MUI daerah selalu terlibat dalam rencana
tindak kekerasan.
Namun kali ini fatwa MUI dan aksi-aksi kekerasan itu menimbulkan reaksi di kalangan LSM. Lebih-lebih karena disamping memfatwakan sesat terhadap Ahmadiyah, MUI juga mengharamkan paham Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme. Reaksi itu menilai bahwa sikap dan tindakan terhadap Ahmadiyah itu merupakan bagian dari gejala yang lebih luas, yaitu penekanan terhadap kebebasan beragama.

Tapi timbul bantahan bahwa fatwa MUI hanya berurusan dengan masalah “rumah tangga” umat Islam dan tidak menyangkut agama-agama lain. Tapi keterangan itu dijawab dengan kenyataan bahwa tak lama kemudian timbul aksi-aksi penutupan rumah-rumah ibadah umat Kristen di Jawa Barat, DKI dan Banten. Tapi fakta itu pun dibantah dengan penjelasan
bahwa kelompok umat Islam itu tidak menutup gereja-gereja sebagai rumah ibadah umat Kristen, melainkan menutup rumah-rumah ibadah “liar” tanpa izin yang mempergunakan
rumah biasa sebagai tempat ibadah. Latar belakang dari tindakan kekerasan itu sebenarnya adalah penilaian bahwa rumah-rumah ibadah yang didirikan ditengah-tengah pemukiman kaum Muslim itu adalah suatu kegiatan “Kristenisasi” yang memurtadkan orang Islam. Gejala
ini dijelaskan dengan berdirinya sebuah organisasi yang bernama “Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan” (AGAP). Tindakan-tindakan yang sebenarnya berada di luar wewenang
yang hanya dimiliki oleh pemerintah itu ternyata selalu merujuk kepada SKB 2 Menteri 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah itu. Karena protes, maka Depag mengambil
langkah untuk melakukan revisi terhadap SKB 2 Menteri 1969 itu, tapi langkah ini pun menimbulkan tentangan keras. Fatwa MUI dan tindakan kekerasan terhadap Jema’at
Ahmadiyah ternyata mengandung hikmah yang besar. Kini telah timbul aliansi antara berbagai kelompok antaragama dan aliran kepercayaan yang berdiri di satu front untuk memperjuangkan kebebasan beragama. Situasi ini sulit kita bayangkan terjadi di masa lalu. Kelompok itu bersatu melawan tesis “Clash of Civilization” yang dikembangkan oleh Samuel Huntington. Kini, mereka telah merencanakan untuk melakukan serangkaian dialog antarperadaban dalam rangka
untuk menegakkan masyarakat Pancasila di bumi Indonesia. Dalam situasi krisis itu, gerakan Ahmadiyah nampak berusaha untuk melakukan oto-kritik dan penyesuaian dalam rangka
melakukan integrasi dengan masyarakat plural. Pengalaman telah menunjukkan bahwa Sekularisme adalah paham yang sangat dibutuhkan, karena berdasarkan pengalaman itu, justru
dalam alam sekularlah gerakan Ahmadiyah bisa berkembang ke seluruh dunia. Dan kini, dalam masyarakat Indonesia, pluralisme menawarkan pemecahan masalah yang dihadapi
oleh Ahmadiyah. Sebenarnya, saya berharap juga bahwa pemikiran Islam liberal bisa berkembang di lingkungan Ahmadiyah, mengingat tradisi rasionalisme yang telah tertanam dalam teologi Ahmadiyah. Namun saya memiliki keraguan, karena dalam ancaman
tuduhan “sesat dan menyesatkan” atau “menodai aqidah,” Ahmadiyah tentu akan mengalami hambatan dalam mengembangkan pemikiran yang liberal. Jadi, karena trauma masa lalu, Ahmadiyah akan berusaha untuk mendekati ortodoksi untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah itu adalah merupakan bagian dari Islam.

No comments: