.quickedit{ display:none; }

Friday, April 17, 2009

Aku Lahir Dari Keluarga Ahmadiyah

Bengkulu, sebuah kota kecil di tengah pulau Sumatra, disana akau lahir dan di besarkan oleh keluarga Ahmadi. Keluarga ku menganut paham Ahmadiyah, menurut cerita orang tua ku bahwa Kakek dan Nenek ku lah yang telah membawa ajaran Ahmadiyah ini di Bengkulu yang beliau dapat dari perantauannya ke Padang, Sumatra Barat.

Pada awalnya aku menggangap bahwa paham yg di anut oleh keluarga ku adalah “ sama saja “ dengan mayoritas muslim yang lainnya. Kenapa aku bisa mengatakan sama saja..ya karena keluarga ku menjalankan semua rukun islam, mengucapkan shahadat asyhaduannlaailaaha illallah waasyhaduanna muhammadanrrasulullah, aku melaksanakan sholat wajib lima waktu secara dawam, menghadap ke kiblat, dimulai dengan takbiratur ikhram dan diakhiri dengan salam, disamping sholat wajib orang tua ku selalu menekankan dan menganjurkan anak-anaknya untuk terbiasa melaksanakan sholat sunat yg menyertai sholat fardu dan membangunkan kami di tengah malam untuk melaksanakan sholat tahajjud berjamaah. Jika tiba bulan puasa, aku melaksanakan puasa selama satu bulan penuh dan tiap bulan saya selalu menemanin orangtua ku untuk membayar zakat, infak dan sumbangan lainnya untuk jalan Allah dan tentu saja berangkat haji yg telah dilaksanakan oleh nenekku.
Inilah yang saya sebut “sama saja” dengan mayoritas islam yang lainnya di Indonesia ini khususnya, mungkin anggapan ini sama yg dirasakan oleh anak-anak keturunan ahmadiyah lainnya, ketika pertama mengenal keahmadiyahannya. Titik balik dari anggapan aku di atas dimulai ketika pertama kali aku menginjak bangku sekolah pertama (SMP), pada saat itu mata pelajarannya adalah pendidikan agama islam dan topik pelajarannya adalah mengenal 25 nabi dan rosul. Pada saat pembahasan megenai Nabi Isa as, guru aku menjelaskan bahwa nabi Isa as telah diangkat kelangit sehingga terhindar dari peristiwa penyaliban dan salah seorang/orang lain yang telah disamarkan seperti Nabi Isa.as yang disalibkan, hingga sekarang Isa ibnu Maryam dari Nazerat masih hidup di langit, suatu saat nanti akan turun kembali ke dunia ini. Pada saat itu aku menanyakan ke guru saya tersebut, kalau nabi Isa ibnu Maryam masih hidup dilangit bagimana dengan ayat alquran.. tiap-tiap makhluk yang berjiwa akan mati (21:35-36), dan ketika dilangit apakah masih berstatus sebagai nabi ? siapakah umatnya di sana ? lalu bagaimana ia makan (5:76, 21:8-9)? Bagaimana beliau mendirikan shalat dan membayar zakat (19:32-33).
Jawaban dari Guru saya adalah ; “ Kamu orang Ahmadiyah ya..!!, bukannya jawaban yang saya dapat justru pertanyaan balik “Apakah aku seorang Ahmadi ?”
Sesampainya dirumah aku menceritakan peristiwa ini kepada kedua orang tua ku dan mengajukan kembali pertanyaan-pertanyaan diatas dan yang lebih mendesak yang saya ajukan ke orang tua ku adalah Apa sih Ahmadiyah, kalu kita menanyakan sesuatu di luar pertanyaan yg umum orang ajukan selalu orang mengatakan kamu orang Ahmadiyah ? dan inilah jawaban yang “ membedakan” aku dengan yang lainnya, yaitu :

Mengenai masalah adanya Nabi setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w.



inilah yang menjadi pokok permasalah yang selama ini selalu di kecam oleh para “ulama-ulama” islam pada umumnya karena mereka berpandapat ini masalah akidah, kalu akidah yang di usik maka "halal darahnya" . Disini aku mencoba sedikit menjelaskan bahwa pokok persoalannya adalah hanya pada pola dan pendekatan penafsiran Al-quran Mengenai Makna dari khaataman-nabiyyiin
Pendirian Jemaat Ahmadiyah adalah mengimani seluruh makna ayat khaataman-nabiyyiin yang bersesuaian dengan Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, Ijma’ dari orang-orang shaleh terdahulu, dan juga bersesuaian dengan ungkapan serta pemakaian bahasa Arab. Jemaat Ahmadiyah mengimani makna harfiah (letterlijk) ayat ini, dan juga mengimani makna-makna hakikinya yang memiliki pengertian bahwa Hadhrat Rasulullah s.a.w. adalah yang paling sempurna dari seluruh nabi; stempel para nabi; dan merupakan cincin [perhiasan] para nabi. Seluruh potensi nubuwwat telah berakhir pada diri beliau. Kunci setiap fadhilah (keunggulan) telah diserahkan ke tangan beliau. Syari’at beliau - yakni Al-Qur’an dan Sunnah - akan terus berlaku hingga Hari Akhir dan meliputi seluruh penjuru dunia. Setiap manusia berkewajiban untuk mempercayainya. Tidak ada seorang pun yang dapat me-mansukh-kan syari’at ini barang setitik pun juga. Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi/rasul pembawa syari’at terakhir dan Imam terakhir yang wajib ditaati. Beliau s.a.w. adalah penutup sekalian nabi. Tidak ada seorang nabi pun yang dapat terlepas dari lingkup ke-khaatam-an beliau dari sisi mana pun juga. Tidak ada lagi nabi sebelum beliau yang secara jasmani masih hidup di dalam era beliau. Tidak pula setelah beliau berlalu dari dunia ini, masih ada nabi terdahulu lainnya yang masih hidup abadi secara jasmani. na’udzubillaah. Dalam pengertian hakiki pun beliau s.a.w. merupakan penutup sekalian nabi. Tidak mungkin karunia dari nabi yang terdahulu masih berkelanjutan setelah kedatangan beliau Sebab, beliau merupakan penutup bagi karunia-karunia segenap nabi lainnya. Namun, karunia kenabian yang berasal dari ketaatan kepada Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. tetap akan berlangsung hingga Kiamat (4:70). Ringkasnya, Jemaat Ahmadiyah mengakui Rasulullah s.a.w
sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna harfiah ataupun makna hakiki, dan Jemaat Ahmadiyah secara terhormat berani memaparkan kenyataan yang pahit ini, bahwa selain para pengingkar Hadits, para ulama dari segenap golongan penentang Ahmadiyah juga tidak mengakui Rasulullah s.a.w. sebagai khaataman-nabiyyiin dalam makna-makna yang telah dijelaskan di atas.
Firman Allah Ta’ala: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasulullah danKhaataman Nabiyyiin [Meterai sekalian nabi].” (33:41)
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-lakidi antara kamu?
Perlu diperhatikan adanya kata laakin (melainkan) yang disisipkan sebelum kata rasulullah dan
khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca alimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan keraguan
mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu? Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat 4 menyatakan: “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa
keturunan.”
Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz.Rasulullah s.a.w. (Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim)semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah s.a.w. sampai dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya.
Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah S.w.t. dalam Surah al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau s.a.w. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah s.a.w. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorang Rasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wakhaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan beliau, bahkan beliau s.a.w. merupakan stempel para nabi
Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi beliau s.a.w. bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi. Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah s.a.w., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau s.a.w., bahwa segala sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan datang terkumpul dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad s.a.w. Hanya beliau s.a.w. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamulanbiya’, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.
Sedikit catatan mengenai peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, Rasulullah
s.a.w. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya di sorga ada yangmenyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.”(H. R. Ibnu Majah).
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau s.a.w. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat
khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat jelas bahwa Nabi s.a.w. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau s.a.w. tidak mengungkapkan pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.

Inilah beberapa point yang bisa aku jawab mengenai ke Ahmadiyahan ku yang selama ini saya imani, dimanakah letak aku telah mengusik unsur-unsur akidah ? aku hanya mencoba memberikan penafsiran dari sisi yang lain.
Seorang manusia yang bijaksana biasa merenungkan setiap masalah dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar arti setiap kata. Mungkin karena kekhawatiran terhadap orang-orang
yang dapat menjadi mangsa kekeliruan semacam itu, maka Hz. Siti Aisyah r.a. berkata:
“Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamulanbiya’,
tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya
ba’dahu (tidak ada nabi sesudahnya).” (Durrun Mantsur, jld. V,
hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 5
Terakhir akan saya kutip pernyataan Mirza Ghulam Ahmad a.s :

“Tidak ada kitab kami selain Qur’an Syarif. Dan tidak ada rasul
kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita
mengimani bahwa nabi kita s.a.w. adalah Khaatamul Anbiya’,
dan Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. Jadi, janganlah
menjadikan agama sebagai permainan anak-anak. Dan
hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain
kecuali sebagai khadim Islam. Dan siapa saja yang
mempertautkan hal [yang bertentangan dengan] itu pada kami,
dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia
berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim s.a.w. Dan kami
memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Qur’an
Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di
dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk
ini. Jika tidak, dia akan mempertanggungjawabkannya di
hadapan Allah Ta’ala. Jika kami bukan khadim Islam, maka
segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak, serta akan
diperkarakan.” (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld. 5, no. 4)

No comments: